Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

LAPORAN PRAKTIKUM RANSUM RUMINANSIA (RANRUM)

LAPORAN PRAKTIKUM RANSUM RUMINANSIA (RANRUM)


Contoh LAPORAN RANSUM RUMINANSIA (RANRUM) untuk fakultas peternakan diamanpun anda berada.

BAB I PENDAHULUAN


Kambing merupakan salah satu hewan yang dapat hidup baik pada kondisi iklim tropis dan mampu mencari bermacam-macam tanaman berdaun sebagai pakan utamanya. Pakan menjadi faktor penting yangmempengaruhi produktivitas kambing. Kualitas dan kuantitas yang tidak mencukupi kebutuhan, menyebabkan produktivitas kambing menjadi rendah, antara lain ditunjukkan oleh laju pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah. Upaya untuk mencukupi kebutuhan gizi dan memacu pertumbuhan, dapat dilakukan dengan cara memberi pakan tambahankonsentrat.

Ransum adalah beberapa konsentrat dicampur menjadi satu lalu diberikan pada kambing selama satu hari untuk memenuhi kebutuhan nutriennya tanpa mengganggu kesehatannya. Ransum lengkap (complete feed) merupakan pakan tunggal hasil pencampuran bahan-bahan pakan yang telah diproses untuk menghindari seleksi pakan oleh ternak. Ransum yang berkualitas baik berpengaruh pada proses metabolismetubuh ternak sehingga ternak dapat menghasilkan daging yang sesuai denganpotensinya. Pengaruh pemberian ransum dapat diamati dari performance kambing setelah diberi formulasi ransum. Pengamatan performance kambing antara lain dengan menimbang berat badan serta mengukur data vital (panjang badan, lingkar dada, dan tinggi gumba) setiap minggu sekali.

Tujuan dari praktikum ransum ruminansia ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui teknik penyusunan ransum, pencampuran ransum ruminansia terutama ruminansia kecil serta mengetahui pengaruh langsung pemberian ransum ke ternak dengan cara aplikatif.




BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Kambing PE

          Kambing merupakan ternak yang cukup efisien dalam pemanfaatan vegetasi alam yang tumbuh di lahan marginal (Sharma et al., 1992). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa kambing memiliki nilai yang lebih ekonomis ditinjau dari segi pemeliharaannya serta merupakan ternak yang paling mudah dipergunakan dalam upaya pengentasan kemiskinan di pedesaan terutama di daerah tropis (Deoghare dan Ram, 1992).
Salah satu bangsa kambing lokal yang ada di Indonesia adalah kambing ‘Peranakan Etawah’ (PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Jamnapari (lebih dikenal dengan kambing etawah) dengan ka,ning lokal. Kambing PE diketahui merupakan tipe kambing dengan fungsi ganda, yakni sebagai penghasil daging dan susu. Kambing PE betina dewasa dapat mencPi bobot hidup seberat 45 kg (Tillman, 1991) dengan produksi susu harian dapat mencapai sejumlah 2,5 kg (Sutama et al., 1995). Ketersediaan pakan yang berkesinambungan dan berkualitas agar dapat memenuhi kebutuhan ternak kambing sesuai dengan status fisiologis ternak, merupakan jaminan tingkat keberhasilan usaha peternakan, khususnya kambing PE.

Kambing PE merupakan salah satu ternak yang cukup potensial sebagai penyedia protein hewani baik melalui daging maupun susunya. Sementara ini, pengembangan kambing PE sebagai penghasil susu belum banyak diperhatikan dan pemeliharaan masih bersifat tradisional. Pakannya sebagian besar hanya rumput lapangan saja sehingga belum bisa mencukupi kebutuhan fisiologis ternak terutama dari sumber energi dan protein (Sukarini, 2006).

Ransum

          Ransum adalah sejumlah pakan yang dikonsumsi ternak selama 24 jam tanpa memperhatikan nutrien yang ada untuk seekor ternak. Ransum seimbang atau ransum serasi (balanced ration) adalah ransum yang mengandung semua nutrien yang dibutuhkan ternak sesuai dengan tujuan pemeliharaan. Kegunaan dari formulasi ransum adalah untuk menuangkan pengetahuan tentang zat atau beberapa makanan (ransum) yang dapat memenuhi kebutuhan ternak yang mempunyai tingkat produksi tertentu yang dikehendaki oleh peternak (Kamal, 1998).

          Ransum merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam industri peternakan karena disamping menentukan produktivitas ternak juga tingkat keuntungan finansial usaha tersebut. Menyusun ransum atau formulasi ransum merupakan “seni atau an art” karena disamping harus memenuhi persyaratan-persyaratan ilmiah juga dibutuhkan suatu strategi maupun kelincahan yang merupakan seni dalam mencari dan menentukan bahan pakan yang akan digunakan dalam formulasi ransum. Tingkat kebutuhan ternak akan nutrien harus dipertimbangkan dalam menyusun ransum sehingga mampu memenuhi total kebutuhan ternak (Utomo et al., 2008).

          Tipe ransum yang diberikan ada dua yaitu complete feed (ransum lengkap) dan pemberian terpisah antara konsentrat dan hijauan. Complete feed (ransum lengkap) adalah ransum yang disusun sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi tambahan bahan makanan atau zat makanan apapun dari luar; siap diberikan kepada ternak untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya (Kamal, 1998).Menurut Anggorodi (1994) mengatakan bahwa ransum adalah makanan yang disediakan bagi ternak untuk 24 jam. Suatu ransum seimbang menyediakan semua zat makanan yang dibutuhkan untuk memberi makan ternak selama 24 jam.

Formulasi pakan dan teknik pencampuran pakan yang efisien dan efektif akan menghasilkan pakan dengan mutu baik dan harga murah. Berdasarkan kebutuhan nutrien dari ternak, formulasi pakan dengan metode “trial and error” sudah tidak dianjurkan lagi (khususnya untuk “home-mixing”).Terlebih lagi dengan relatif murahnya harga komputer dan software untuk formulasi pakan.Teknik pencampuran pakan yang baik adalah teknik yang mampu menghasilkan pakan dengan tingkat homogenitas yang tinggi. Beberapa bahan baku suplemen aditif penting seperti vitamin, mineral, anti oksidan, asam amino dan lain mikronutrien lain biasanya memiliki porsi yang sangat kecil dalam pakan. Selain itu bahan baku berupa cairan juga harus tercampur homogen dalam pakan (Achmadi, 2007).

Bahan Pakan

Bahanpakan adalah suatu bahan yang dimakan oleh ternak yang mengandung energi dan zat-zat gizi di dalam bahan pakan (Hartadi, 1993).Bahan makanan adalah bahan yang dapat dimakan, dan digunakan oleh hewan untuk pertumbuhan, produksi dan hidup pokok ternak (Tillman et al., 1991). Kebutuhan ternak akan pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap nutrisi. Jumlah nutrisi setiap harinya sangat tergantung pada jenis ternak, umur, fase pertumbuhan (dewasa, bunting dan menyusui), kondisi tubuh, dan lingkungan tempat hidupya, serta bobot badannya (Tomas, 1993).

Pertumbuhan produksi dan hidup pokok hewan memerlukan zat gizi.Pakan ternak mengandung zat gizi untuk keperluan kebutuhan energi maupun fungsi-fungsi (pertumbuhan, produksi dan hidup pokok) tetapi kandungan zat gizi pada masing-masing pakan ternak berbeda (Parakkasi, 1995). Klasifikasi bahan pakan secara internasional telah membagi bahan pakan menjadi 8 kelas, yaitu hijauan kering, pasture atau hijauan segar, silase, sumber energi, sumber protein, sumber mineral, sumber vitamin, zat additive (Tillman et al., 1991).

Bahan pakan dibagi menjadi dua menurut sumbernya, yaitu nabati dan hewani.Bahan pakan nabati adalah pakan yang berasal dari tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan gandum.Bahan pakan hewani adalah bahan pakan yang bersumber dari hewan seperti udang, ikan dan darah (Rasyaf, 1994). Secara Internasional bahan pakan dapat dibagi menjadi 8 kelas yaitu hijauan kering, pasture, silase, sumber energi, sumber protein, sumber mineral, sumber vitamin dan zat additive (Tillman et al., 1991).

Kulit Coklat

Pod kakao merupakan produk samping buah tanaman kakao (Theobroma cacao) dengan jumlah sebesar 75,67% dari biji kakao. Produk samping buah kakao tersebut meningkat dari tahun ke tahun dengan laju peningkatan sebesar 12,9% (Laconi, 1998). Produk samping perkebunan kakao, kulit buah kakao (KBK) dimanfaatkan sebagai bahan organik pembuatan pupuk dan bahan pakan untuk menggantikan sumber – sumber pakan konvensional. Dilihat dari komposisinya, KBK mengandung 7,75% protein dan energi sebesar 3900 kkal/kg yang melebihi komposisi rumput gajah, yaitu 6,9% protein dan energi sebesar 3800 kkal/kg (Puastuti et al., 2009).

          Menurut Rinduwati dan Ismartoyo (2002), KBK mengandung 87,28% bahan kering, 13,78% protein, 41,45% serat kasar, dan 30,95% BETN. Berdasarkan kadar energi dan protein serta ketersediaan bahan tersebut, maka penggunaan KBK sebagai bahan pakan cukup potensial. Penggunaan KBK sebagai pakan pengganti rumput atau hijauan pada sistem integrasi kakao – ternak dapat mengurangi dampak negatif dari pembusukan KBK, mengatasi masalah kekurangan rumput pada musim kemarau dan menghemat waktu pengadaan pakan, sehingga waktu yang ada bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif.

          Selain memiliki potensi produksi dan komposisi nutrien yang baik, KBK juga memiliki faktor pembatas diantaranya memiliki kandungan lignin yang tinggi yaitu 27,95 – 38,78% sehingga dapat mempengaruhi daya cerna. Kulit buah kakao juga mengandung alkaloid theobromin (3,7-dimethylxanthine) sebanyak 0,17 – 0,22% (Wong dan Hasan, 1988), kafein (1,3,7-trimetilxanthine) sebanyak 1,8 – 2,1% dan mengandung tanin sebanyak 0,84% (Rinduwati dan Ismartoyo, 2002). Tingginya kandungan tanin dan lignin dapat menurunkan daya cerna, karena tanin dapat mengikat protein, selulosa, dan hemiselulosa sehingga aktivitas enzim protease dan selulase menjadi terhambat.

Bungkil Kedelai

Bungkil kedelai adalah produk hasil ikutan penggilingan biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis (ekspeller) atau secara kimia (solvent).Bungkil kedelai yang dihasilkan secara mekanis lebih banyak mengandung minyak dan serat kasar, serta lebih sedikit kandungan proteinnya dibandingkan dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan menggunakan larutan hexan (Suryahadi et al., 1997).Bungkil kedelai merupakan limbah dari industri minyak kedelai. Bungkil ini sangat disukai ternak  Secara kualitatif kualitas bungkil kedelai dapat di uji dengan menggunakan kerapatan tumpukan dan uji apung. Kerapatan tumpukan yang baik adalah 594,1-610.2 kg/m3 (Mcdonald et al., 1995).

Bungkil kedelai merupakan limbah dari pembuatan minyak kedelai yang banyak dimanfaatkan untuk ternak. Bungkil kedelai mengandung protein kasar sebesar 44,0% dan energi metabolis 2230 kkal/kg (tangendjaja, 1987). Bungkil kedelai merupakan suplemen protein yang biasa digunakan dalam ransum domba, karena mempunyai palatabilitas yang tinggi, daya cerna yang tinggi dan asam amino yang seimbang (Cheeke et al., 1982). Keuntungan bungkil kedelai sebagai penyusun ransum antara lain adalah dapat meningkatkan kualitas protein yang dapat meningkatkan efisiensi penggunaan protein. Bungkil kedelai mempunyai kandungan protein yang tinggi dan berkualitas baik, tetapi rendah akan kandungan kalsium dan phospor serta tidak mengandung vitamin A dan D (Parakkasi, 1993), kandungan nutrisi bungkil kedelai menurut NRC (1994), yaitu protein kasar 44%, lemak 0,8%, serat kasar 7%, Ca 0,29%, P 0,275% dan energi metabolis 2230 kkal/kg.

CGM (Corn Gluten Meal)

Menurut Pfost (1976), CGM adalah sisa dari penggilingan jagung dalam proses produksi pati dan sirup jagung yang merupakan residu dari pemisahan pati dan lembaga jagung dan dikeringkan. CGM selain sebagai sumber energi juga berperan sebagai sumber protein. Kandungan protein kasar CGM lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan yaitu sebesar 62%. CGM adalah hasil ikutan proses penggilingan jagung secara basah dari jagung yang digunakan dalam industri sirup kaya frukstosa. Karena dari bagian pati dan lembaga yang menghasilkan energi dipisahkan maka hasil ikutan yang tersisa adalah bagian yang banyak mengandung protein. CGM sangat kaya dengan protein sehingga bersaing dengan protein hewani (Amrullah, 2003).

Menurut Ensminger (1990), CGM sudah lama diproduksi untuk bahan makanan ternak dengan mengandung rata-rata protein kasar sekitar 43% sampai 70% dan rendah akan lysine dan tryptophan. CGM diperoleh dengan memisahkan gluten dengan starch (pati) menggunakan mesin separator yang prinsip kerja pemisahannya berdasarkan berat jenis cairan.

Bungkil Kopra

Bungkil kopra (Cocos nucifera) merupakan produk samping dari kegiatan ekstraksi minyak kelapa. Bungkil kopra sering digunakan sebagai sumber protein dalam ransum ruminansia dengan nutrisi yaitu 59,6% karbohidrat, protein 21,9%, dan lipid 2,2% (Hertrampf and Pascual, 2000). Tepung kopra juga mengandung mannan 2 sampai 30% yang merupakan sumber biomasa setelah selulosa dan xylan banyak terdapat pada limbah sawit dan kopra (Yopi et al., 2006).

Pollard

Dedak gandum atau pollard adalah salah satu hasil ikutan dari proses penggilingan gandum, merupakan campuran wheat middling dan dedak gandum, yang hampir seluruhnya terdiri dari lapisan luar biji gandum yang kasar, sehingga bersifat amba, kaya akan serat serta rendah kandungan energi metabolisnya. Wheat middling terdiri dari partikel halus, dedak gandum, sedikit lembaga dan endosperm sedangkan dedak gandum terdiri dari lapisan kulit ari terluar (perikarp) dari gandum, selama penggilingan akan dihasilkan wheat pollard gandum sebesar 10%. Pollard mengandung polisakarida non pati yang bersifat tidak larut seperti selulosa, lignin, dan hemiselulosa tipe D-xilan dengan tambahan L-arabinofuranosa dan D-asam glukuronat (Tangendjaja dan Pattyusra, 1993).

Kadar protein dedak gandum rata-rata adalah 15%, lemak 4% dan biasanya kadar seratnya tidak lebih dari 10%. Dedak gandum mengandung Mg dan kaya akan vitamin B kompleks yang sangat penting untuk pertumbuhan unggas (Kiroh, 1992). Lesson dan Summers (2001) menyatakan bahwa batas toleransi penggunaan pollard dalam ransum ayam muda tipe petelur maksimal 8%, breeding ayam petelur maksimal 15%, breeding ayam pedaging maksimal 10% dan ayam pedaging umur 4 sampai 8 minggu maksimal 20%.

Pollard merupakan hasil sampingan tepung gandum dan bentuknya berupa pecahan gandum. Komposisi kimia pollard antara lain DM 86%, abu 4,2%, Ekstrak Eter 45%, SK 6,6%, BETN nitrogen 14,1%, PK 16,1% (Hartadi et al, 2005). Sisa-sisa penggilingan gandum biasanya memiliki kandungan serat kasar yang lebih rendah daripada dedak gandum, sedangkan nilai TDN lebih rendah dibandingkan middlings (gandum ukuran sedang) (Agus, 2008).

Bekatul

Bekatul merupakan hasil sampingan atau limbah dari proses penggilingan padi. Bekatul menurut hasil penelitian, kurang lebih 8% sampai 8,5% dari berat padi adalah bekatul. Nutrien yang terdapat dalam bekatul adalah protein kasar 9% sampai 12%, pati 15% sampai 35%, lemak 8% sampai 12%, serta serat kasar 8% sampai 11% (Agus, 2008).

Bekatul memiliki kandungan serat kasar yang lebih tinggi daripada jagung atau sumber energi yang lain. Oleh karena itu, bekatul diberikan dalam jumlah yang terbatas, tergantung pada jenis ternaknya, untuk menghindari serangga atau bau tengik sehingga kualitas bekatul tidak berkurang, sebaiknya bekatul dijemur terlebih dahulu selama 3 sampai 4 hari. Penjemuran dilakukan sebelum bekatul disimpan atau digunakan sebagai bahan baku pakan. Komposisi kimia bekatul antara lain DM 86%, CP 12%, fat 10,7%, CF 5,2%, NDF 6,8%, ADF 4,3%, Ca 0,04%, P 1,27%, TDN 73%. Bekatul sebagai komoditi yang cukup terbatas ketersediaannya karena tergantung pada musim panen padi serta menjadi kebutuhan utama bagi peternak yang membuat pakan campuran sendiri sehingga mendorong tingginya harga jual bekatul di pasaran.

Ada beberapa bahan yang sering digunakan untuk memanipulasi bekatul seperti sekam giling, limestone, zeolite, dan limbah tepung tapioka atau onggok (Agus, 2008). Bekatul hampir mirip dengan dedak lunteh, terdiri atas kulit beras dalam jumlah besar dan sedikit pecahan kulit gabah, tetapi kulit berasnya jauh lebih banyak daripada dedak lunteh (Sudarmono, 2003).

Gaplek

Menurut Makfoeld (1982), gaplek adalah umbi akar ketela pohon terkupas yang telah dikeringkan. Pengeringan dapat dilakukan dengan sinar matahari (penjemuran) atau pengeringan buatan. Kandungan air pada gaplek antara 14 sampai 15% akan tahan disimpan selama 3 sampai 6 bulan. Kualitas gaplek dapat ditentukan berdasarkan kandungan air, warna, adanya kotoran serta kapang yang ada. Kandungan air yang tinggi akan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kapang jenis Aspergillus, Rhizopus atau Penicillium.

Gaplek digunakan sebagai pakan ternak sumber energi, namun demikian sistem pemberian pada ternak sangat terbatas. Gaplek merupakan bahan pakan sumber energi yang baik, dengan kandungan energi 3000 kcal per kg, protein kasar 3,3%, lemak kasar 5,3%, phospor 0,17% dan kalsium 0,57% (Tillman et al., 1991). Tingginya kandungan karbohidrat dalam gaplek mengakibatkan tingkat degradasi didalam rumen juga tinggi dan berlangsung cepat.

Molasses

Tetes atau dikenal dengan nama molasses merupakan limbah hasil dari pabrik gula tebu, praktis tidak mengandung protein tetapi kaya karbohidrat yang mudah dicerna. Tetes dapat digunakan sebagai pakan ternak secara langsung atau setelah mengalami proses pengolahan. Tetes merupakan sumber energi yang tinggi karena kadar karbohidratnya tinggi, kadar mineralnya pun cukup tinggi juga mempunyai rasa yang disukai ternak (Lubis, 1992). Nilai protein kasarnya sama dengan nitrogen non protein (Agus, 2008).

Molasses merupakan sumber energi yang dapat meningkatkan palatabilitas pakan dan nafsu makan pada ternak (Cheeke, 2005). Molasses merupakan bahan pakan sumber energi yang dapat difermentasi oleh mikrobia menjadi VolatileFattyAcid (VFA) yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu. Komposisi VFA dalam rumen adalah asam asetat sebanyak 50 sampai 60%, asam propionat 18 sampai 20%, dan asam butirat sebanyak 12 sampai 18%. Pemberian asam asetat dapat digunakan untuk metabolisme otot dan lemak tubuh serta dapat mempengaruhi kualitas lemak susu. Asam butirat sebagian besar diubah menjadi keton selama absorb melalui epithelium rumen. β-hydro-xybutiric acid (β-HBA) merupakan 80% dari ketones yang dapat digunakan sintesis asam lemak di adipose dan jaringan kelenjar susu (Heinrichs, 1998).

Premix

Premix mengandung mineral dan pemberian sejumlah mineral bersifat esensial untuk kesehatan, pertumbuhan, dan produksi ternak yang optimal (Phillips, 2008). Berdasarkan sumbernya, mineral dibedakan menjadi  dua macam yaitu Mineral Organik, mineral organik sering dikelompokkan sebagai chelat dan proteinat. Trace element tersebut berikatan dengan asam amino atau protein. Mineral organik diserap dalam usus dengan mekanisme yang beda yang mungkin meningkatkan bioavailabilitasnya dan membuatnya bermanfaat dalam situasi dimana mineral yang lain berkurang bioavailabilitas mineral utamanya. Sayadi (2005), menyatakan bahwa biovailabilitas mineral merupakan faktor penting. Kedua Mineral Anorganik. Mineral anorganik umumnya ada dalam bentuk trace mineral sulfat, fosfat, klorida, karbonat, atau oksida. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa sumber anorganik trace mineral lebih tersedia dibanding yang lain.



BAB III MATERI DAN METODE

Materi

Ternak. Ternak untuk praktikum Ransum Ruminansia dipersiapkan terlebih dahulu. Ternak yang digunakan merupakan ternak ruminansia yaitu kambing peranakan Ettawa (PE). Ternak kambing PE tersebut dipelihara oleh peternak di daerah Turgo, ternak yang digunakan sebanyak 4 sampai 5 ekor.

Ransum. Ransum yang akan diberikan kepada ternak kambing PE disusun dengan berbagai bahan pakan yang dibungkus sebanyak 300 gram.

Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum adalah timbangan, pita ukur, penggaris jangka sorong, dan tali.

Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah bahan pakan yang akan diransum meliputi kulit coklat, bungkil kedelai, CGM, kopra, pollard, bekatul, gaplek, molases, dan premix.

Metode

      Tahap Persiapan. Persiapan yang dilakukan sebelum praktikum adalah menyiapkan ransum pakan yang akan diberikan kepada ternak kambing PE sebanyak 300 gram/hari. Langkah selanjutnya adalah identifikasi ternak berdasarkan ciri-ciri pada tubuhnya, pengukuran data vital awal dan bobot badan awal, dan pemberian nomer ternak.

         Rancangan Penelitian. Rancangan penelitian yang dilakukan pada praktikum Ransum Ruminansia dilakukan dengan  3 perlakuan ransum yaitu high protein, medium protein, dan low protein. Setiap perlakuan ransum dilakukan replikasi sebanyak 5 yaitu diberikan kepada 5 ekor ternak.

          Penyiapan Pakan dan Pemberian Pakan. Ransum pakan disusun sehari sebelum pemberian pakan dilakukan dengan mencampurkan semua bahan pakan dengan proporsi yang berbeda sehingga diperoleh ransum pakan dengan kandungan protein yang berbeda pula yaitu high protein, medium protein, dan low protein. Ransum pakan yang telah disusun dibungkus sebanyak 300 gram. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 300 gram/hari.

Variabel yang Diamati

Pengamatan dan pengambilan data dilakukan seminggu sekali meliputi pertambahan bobot badan dan pengamatan data vital pada ternak kambing PE tersebut.

Pertambahan Bobot Badan Harian. Pertambahan bobot badan dapat diamati dengan melakukan penimbangan ternak setiap minggu setelah diberi perlakuan pemberian pakan. Hasil timbangan bobot badan akhir dicatat kemudian dikurangi dengan hasil timbangan bobot badan awal ternak.

FCR. Pengamatan data feed convertion ratio (FCR) dilakukan dengan pengukuran feed intake dibagi dengan pertambahan bobot badan (gain). Hasil perhitungan kemudian dicatat.

Data Vital. Pengamatan data vital meliputi lingkar dada, panjang badan, dan tinggi gumba. Pengukuran panjang badan dan tinggi gumba dengan menggunakan jangka sorong dan penggaris, kemudian lingkar dada dengan menggunakan pita ukur. Hasil pengukuran dicatat.

Persiapan yang dilakukan sebelum praktikum adalah menyiapkan ransum pakan yang akan diberikan kepada ternak kambing PE sebanyak 300 gram/hari. Langkah selanjutnya adalah identifikasi ternak berdasarkan ciri-ciri pada tubuhnya, pengukuran data vital awal dan bobot badan awal, dan pemberian nomer ternak.



BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Kambing PE

Kambing etawa diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1908, dan dikembangkan dengan pola grading up. Langkah ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat yang dalam perkembangan selanjutnya dimanfaatkan sebagai ternak dwiguna, yakni sebagai sumber daging dan susu (Budiarsana dan Sutama, 2001). Berikut data ternak yang digunakan sebagai probandus dalam praktikum:
Tabel 1. Identifikasi kambing Peranakan Etawa
Parameter
No. Identifikasi
1
2
3
4
Kondisi fisiologis
Sehat, sedang bunting
Sehat
Sedang bunting
Sedang laktasi
Berat badan (kg)
61
49,4
72,5
39
Poel
3
3
3
4
Perkiraan umur (tahun)
3,5 – 4
3,5 – 4
3,5 – 4
>4
Deskripsi identifikasi
Kepala terdapat corak coklat sampai leher
Bulu putih, corak coklat disekitar mata
Terdapat corak coklat dikepala hingga leher dan ekor. Hidung berwana putih
Corak coklat dibagian kepala, punggung dan ekor berwarna hitam
Kebutuhan ternak. Kebutuhan ternak untuk kambing PE saat praktikum dilakukan dengan pemberian perlakuan pakan dengan kandungan protein yang berbeda-beda. Pemberian pakan dilakukan dengan 3 perlakuan yaitu protein tinggi (high protein), protein medium (medium protein) dan protein rendah (low protein). TDN (Total Digestible Nutrient) diasumsikan bahwa pakan yang diberikan memiliki TDN lebih dari 65%. Penyusunan ransum dilakukan dengan medtode trial and error untuk setiap kategori kandungan protein setiap ransum. Chuzaemi, dan Hartutik (1995), menyatakan bahwa kebutuhan nutrien ternak ditentukan oleh hidup pokok dan tingkat produksinya. Kebutuhan hidup pokok merupakan kebutuhan untuk mempertahankan bobot hidup. Apabila pakan yang diperoleh melebihi dari kebutuhan hidup pokok maka sebagian kelebihan akan digunakan untuk produksi.

Efisiensi produksi susu dihitung berdasarkan energi atau protein yang terkandung dalam produksi susu harian dalam kalori atau gram dibagi dengan energi atau protein dalam pakan yang dikonsumsi per hari. Sedangkan efisiensi ekonomi produksi susu dihitung berdasarkan nilai uang hasil penjualan dengan biaya pembelian pakan (Budiarsana dan Sutama, 2001). Kebutuhan nutrien kambing laktasi dengan bobot 45 Kg dan lemak susu 4% dalam 1 Kg susu, yakni sebagai berikut:

Tabel 2. Kebutuhan PK dan TDN kambing Peranakan Etawa
Kebutuhan
PK (gram)
TDN (gram)
Hidup pokok kambing bobot 45 Kg
69
489
Produksi susu dengan lemak susu 4%
72
346
Jumlah
141
835
(Nugroho, 2011)
       
   Berdasarkan tabel kebutuhan PK dan TDN untuk kambing peranakan etawa bila dibandingkan dengan perlakuan praktikum dimana TDN diasumsikan lebih dari 65% dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Menurut Purbowati et al., (2003), nilai TDN sebesar 62,37% dari pakan yang digunakan tidak terlalu besar, hal ini menyebabkan ternak akan lebih cepat merasa kenyang, sehingga konsumsinya tidak bertambah. Pakan yang berkualitas baik akan meningkatkan konsumsi.

          Menurut Aka et al., (2008), kebutuhan BK, PK dan TDN induk kambing Peranakan Etawa berdasarkan bobot badan metabolis adalah 106,66 g/kgBB/hari; 17,27 g/kgBB/hari; dan 65,55 g/kgBB/hari. Ditambahkan oleh Marwah et al., (2010), kebutuhan BK, PK dan TDN kambing Peranakan Etawa yang sedang laktasi adalah 1,867 kg/hari, 0,344 kg/hari dan 1,105 kg/hari. Menurut Weston (1982), Pemberian nutrien kepada ternak terutama protein kasar, apabila sudah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka akan dapat meningkatkan produktivitasnya. Ternak yang mendapatkan protein ransum lebih tinggi akan mempunyai pertambahan bobot badan (PBB) yang lebih tinggi dan lebih efisien dalam menggunakan pakan. Menurut Preston dan Leng (1987).Kebutuhan protein tertinggi diperlukan saat ternak berada pada status pertumbuhan awal, melahirkan dan awal laktasi.

Selain itu protein dibutuhkan pula untuk produksi susu khususnya untuk produksi kasein. Kebutuhan protein kasar ransum untuk hidup pokok (maintenance) adalah 4,15 g/W kg 0,75 dan untuk produksi susu adalah 77 g/kg susu dengan kadar lemak 4,5% (NRC, 1981), sehingga produksi susu akan sangat ditentukan oleh protein dalam ransum Disamping protein, ternak juga memerlukan energi untuk pemeliharaan tubuh (hidup pokok), memenuhi kebutuhannya akan energi mekanik untuk gerak otot, dan sintesa jaringan – jaringan baru. Bila hewan dalam keadaan kekurangan makanan, ia tetap memerlukan energi untuk melaksanakan fungsi normal dari tubuh, misalnya aktivitas kerja mekanik, otot-otot, kerja kimia, seperti gerakan zat makanan ke dalam sel menentang konsentrasi yang lebih pekat, untuk sintesa enzim-enzim essensial dan hormon yang penting untuk proses-proses kehidupan, dan lain-lain. Energi yang diperlukan untuk kepentingan-kepentingan tersebut diperoleh dari hasil katabolisme zat-zat cadangan dalam tubuh, misalnya : glikogen, lemak dan protein.

Penampilan Ternak

Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)

          Pengamatan praktikum selama 4 pekan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan bobot badan dari masing-masing kambing. Hal tersebut terdapat pada tabel berikut

Tabel 3. Pertambahan berat badan kambing Etawa/Minggu (Kg) dengan tingkat suplemen yang berbeda di 3 tempat

No. Identifikasi
Jenis Kelamin
Pertambahan Berat Badan
ADG
(kg)
I
II
III
Medium III
1
Betina
3,5
3
1,5
0.380952
2
Betina
4,1
1,5
-1
0.219048
3
Betina
3,5
2,5
4
0.47619
4
Betina
2
1,8
-1,8
0.095238
Rata-rata

3,3
2,2
0,7
0.292857
High III
1
Betina
1
1,4
1,4
0.228571
2
Betina
2,2
1,2
3
0.304762
3
Betina
-10,8
-0,2
6
-0.2381
4
Betina
11,2
3,6
0,5
0.728571
Rata-rata

0,9
1,5
2,7
0.255952
Low III
1
Jantan
-2,1
1,8
1
0.033333
2
Jantan
7,7
-0,9
1,8
0.409524
3
Jantan
4
0,2
1,4
0.266667
4
Betina
11,7
1,1
1,1
0.661905
5
Betina
3
2
2
0.333333
Rata-rata

4,9
0,8
1,5
0.340952


Berdasarkan tabel 3 dan grafik 1 di atas menunjukkan hasil pengamatan rata-rata pertambahan berat badan dengan pemberian suplemen konsentrat yang berbeda yaitu high protein, medium protein, dan low protein Berdasarkan hasil pengamatan pertambahan berat badankambing PE yang diproyeksikan oleh grafik 1 maka dapat diketahui bahwa kambing PE yang diberikan ransum high protein memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pertambahan berat badan ternak. Hal ini terlihat dari grafik pertambahan berat badan yang terus naik ditiap pekannya. Sementara pada ransum lainnya (low protein dan medium protein) memiliki efek negatif terhadap pertambahan berat badan kambing PE yang ditunjukkan dengan turunnya berat badan ternak.

Perbedaan pertambahan berat badan dapat terjadi karena tingkat kecernaan bahan pakan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ali (1999) yang menunjukkan bahwa pertambahan berat badan disebabkan adanya perbedaan kandungan dan kecernaan bahan organik, terutama nitrogen, dalam pakan. Akibatnya nutrien yang dikonsumsi berbeda sehingga kecepatan pertumbuhan, yang diindikasikan melalui pertambahan berat badan, pun berbeda. Soeharsono et al., (2005) juga menyatakan bahwa ketersediaan dan efisiensi penggunaan nitrogen suatu ransum oleh ternak dapat diketahui dari selisih  antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan oleh tubuh baik melalui feses maupun urine. Protein kasar tersusun dari unsur nitrogen maka peningkatan konsumsi protein kasar dapat diartikan sebagai peningkatan konsumsi nitrogen sehingga semakin meningkat pula retensi nitrogen. Ternak mempunyai kapasitas maksimal untuk menyimpan protein tubuhnya tergantung pada umur bobot hidup dan kondisi fisiologis, disamping keseimbangan suplai energi dan protein.



Tabel 4. Pertambahan berat badan kambing Etawa/Minggu (Kg) dengan tingkat suplemen medium protein di tempat yang berbeda

No. Identifikasi
Jenis Kelamin
Pertambahan Berat Badan
ADG
(kg)
I
II
III
Medium I
1
Betina
5,5
-1,5
0
0.285714
2
Betina
2,5
-1,5
-0,5
0.02381
3
Jantan
0,8
1
-0,8
0.047619
4
Betina
1,8
0,8
-1,8
0.038095
Rata-rata

2,65
-0,3
-0,78
0.09881
Medium II
1
Betina
0
0
3,5
0.166667
2
Betina
3,6
-1,2
1,2
0.171429
3
Betina
-0,5
0,5
6
0.285714
4
Betina
0
-0,6
1,6
0.047619
Rata-rata

0,775
-0,34
3,08
0.167857
Medium III
1
Betina
3,5
3
1,5
0.380952
2
Betina
4,1
1,5
-1
0.219048
3
Betina
3,5
2,5
4
0.47619
4
Betina
2
1,8
-1,8
0.095238
Rata-rata

3,275
2,2
0,68
0.292857


Tabel 4 dan grafik 2 di atas menunjukkan hasil pengamatan berat badan kambing PE selama tiga minggu di tiga tempat yang berbeda dengan pemberian suplemen konsentrat yang sama, yaitu medium protein. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa kambing PE mengalami penurunan pertambahan berat badan (gain) di Turgo dan Tritis bahkan mengalami penurunan berat badan. Sementara pertambahan berat badan kambing PE di daerah Tegal mengalami peningkatan di minggu terakhir, meskipun berkurang di minggu pertama pemberiannya. Penurunan berat badan bisa terjadi karena turunnya tingkat konsumsi ternak akibat penyesuaian terhadap pakan yang baru di berikan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Zakariah (2012) bahwa perlu adanya waktu adaptasi ternak terhadap pakan sebelum dilakukan penelitian, karena perubahan pakan secara langsung dapat memengaruhi konsumsi ternak. Kartadisastra (1997) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi PBBH (peningkatan bobot badan harian) adalah bobot badan ternak dan lama pemeliharaan. Bobot badan ternak senantiasa berbanding lurus dengan tingkat konsumsinya. Semakin tinggi bobot tubuhnya, maka makin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap pakan.

          Rata-rata pertambahan berat badan harian kambing PE yang paling baik adalah pada tempat ke tiga (Tritis), yaitu 292 gram. Sementara pada Turgo dan Tegal berturut-turut 98 gram dan 167 gram. Rata-rata pertambahan berat badan harian (ADG) yang tinggi belum tentu akan berimbas pada produktivitas berat badan yang baik jika ditiap minggunya mengalami penurunan. ADG yang tinggi akan baik dalam pertambahan berat badan ternak jika grafik di tiap minggunya terus naik. Faktor penentu dalam mencapai produksi pertambahan berat badan yang optimal adalah bobot badan lahir dan pertambahan bobot badan harian. Penampilan dan produksi ternak berupa laju pertumbuhan dan pertambahan bobot badan harian merupakan hasil nyata dari pengaruh genetik lingkungan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa faktor genetik diperlukan untuk mengekspresikan kemampuannya secara penuh dalam produksi sedangkan lingkungan merupakan faktor pendukung yang memberi kesempatan untuk berproduksi (Briliyan, 2009). Sehingga dapat diketahui bahwa banyak hal yang dapat memengaruhi produktivitas kambing PE, terutama pertumbuhan berat badan, yaitu kemampuan ternak untuk tumbuh dan juga lingkungan ternak. Tegal merupakan tempat yang paling sesuai untuk produktivitas ternak jika dibandingkan dengan Turgo dan Tritis terlihat dari pertambahan berat badan yang baik.

Feed Convertion Ratio (FCR)

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data FCR untuk kelompok medium protein pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Data FCR kambing setiap minggu dengan suplemen protein tingkat medium
Minggu ke-
FCR
Kambing 1
Kambing 2
Kambing 3
Kambing 4
I
0,24
0,30
0,20
0,38
II
0,23
0,27
0,19
0,36
III
0,22
0,27
0,19
0,34
IV
0,21
0,27
0,18
0,36

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa FCR kambing 1 pada minggu pertama 0,24, minggu kedua adalah 0,23, minggu ketiga adalah 0,22 dan minggu keempat 0,21. FCR kambing 2 pada minggu pertama 0,30 dan minggu kedua sampai minggu keempat adalah 0,27. FCR kambing 3 pada minggu pertama adalah 0,20, pada minggu kedua dan ketiga adalah 0,19, sedangkan pada minggu keempat 0,18. FCR kambing 4 pada minggu pertama adalah 0,38, pada minggu kedua adalah 0,36, pada minggu ketiga adalah 0,34, dan pada minggu keempat adalah 0,36.

Data FCR untuk kelompok ransum low protein dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Data FCR kambing setiap minggu dengan suplemen low protein
Minggu ke-
FCR
Kambing 1
Kambing 2
Kambing 3
Kambing 4
Kambing
5
I
0,52
0,48
0,39
0,52
0,26
II
0,56
0,38
0,36
0,37
0,25
III
0,52
0,39
0,36
0,36
0,24
IV
0,50
0,37
0,37
0,35
0,23

Diketahui dari tabel 5 bahwa kelompok ransum low protein untuk kambing 1 pada minggu pertama memiliki FCR sebesar 0,52, pada minggu kedua sebesar 0,56, pada minggu ketiga 0,52 dan keempat sebesar 0,50. FCR kambing 2 pada minggu pertama sebesar 0,48, pada minggu kedua 0,38, ketiga sebesar 0,39, dan pada minggu keempat sebesar 0,37. FCR kambing 3 pada minggu pertama sebesar 0,39, pada minggu kedua dan ketiga sebesar 0,36, dan pada minggu keempat sebesar 0,37. FCR kambing 4 pada minggu pertama sebesar 0,52, pada minggu kedua sebesar 0,37, pada minggu ketiga sebesar 0,36, dan pada minggu keempat sebesar 0,35. FCR kambing 5 pada minggu pertama sebesar 0,26, minggu kedua 0,25, minggu ketiga 0,24 dan minggu keempat 0,23.      Perolehan FCR kelompok high protein jika digambarkan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada grafik 5 berikut.

Data FCR untuk kelompok ransum high protein dapat dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6. Data FCR kambing setiap minggu dengan suplemen high protein
Minggu ke-
FCR
Kambing 1
Kambing 2
Kambing 3
Kambing 4
I
0,41
0,35
0,31
0,40
II
0,39
0,33
0,39
0,31
III
0,38
0,32
0,39
0,29
IV
0,36
0,30
0,34
0,29


Diketahui dari tabel 6 bahwa kelompok ransum high protein untuk kambing 1 pada minggu pertama memiliki FCR sebesar 0,41, pada minggu kedua sebesar 0,39, pada minggu ketiga sebesar 0,38, dan keempat sebesar 0,36. FCR kambing 2 pada minggu pertama sebesar 0,35, pada minggu kedua 0,33, minggu ketiga 0,32, minggu keempat sebesar 0,30. FCR kambing 3 pada minggu pertama sebesar 0,31, pada minggu kedua dan ketiga  0,39, minggu keempat sebesar 0,34. FCR kambing 4 pada minggu pertama sebesar 0,40, pada minggu kedua 0,31, minggu ketiga dan minggu keempat sebesar 0,29.

Dilihat dari data ketiga kelompok yang terdiri dari kelompok ransum low, medium, dan high diketahui bahwa FCR kambing setiap minggunya sama, bahkan ada yang semakin menurun. FCR kambing kelompok medium dan low pada minggu kedua menurun. FCR kambing kelompok low pada minggu kedua sampai minggu keempat menurun. Penurunan FCR kambing dari ketiga kelompok tersebut dipengaruhi oleh pakan, lingkungan, dan konsumsi pakan. Reksohadiprojo (1995) menyatakan bahwa FCR dipengaruhi oleh kualitas ternak yang dipelihara (termasuk daya adaptasinya terhadap pakan yang diberikan), kualitas bahan pakan yang diberikan, dan metode pemberian pakan yang digunakan.

Menurut Sukarini (1999), konversi ransum merupakan perbandingan antara konsumsi ransum dengan produksi susu. FCR merupakan tolok ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan ransum pada proses produksi susu, yang mana semakin rendah nilai FCR, maka semakin tinggi efisiensi penggunaan ransum pada proses produksi susu dan demikian pula sebaliknya. Supranianondo (2007) menyatakan bahwa angka konversi pakan tergantung dari kualitas pakan yang diberikan, semakin baik nilai kecernaannya, akan semakin baik konversi pakan yang dihasilkan. Sehingga makin kecil angka konversi pakan makin menguntungkan karena makin sedikit pakan yangyang dikonsumsi untuk mencapai produk daging yang optimal dalam kurun waktu tertentu.

Pertumbuhan kambing dipengaruhi oleh pakan, kemampuan mengkonsumsi pakan, kondisi lingkungan dan kemampuan reproduksi. Pakan yang digunakan dalam praktikum adalah konsentrat yang terdiri dari kulit coklat, bungkil kedelai, CGM, kopra, bekatul, pollard, premix, gaplek, dan molases. Pertumbuhan kambing menentukan keberhasilan pemeliharaan kambing, semakin cepat pertumbuhan semakin baik untuk pemeliharaan. Perbedaan yang terjadi dapat juga diduga disebabkan oleh pemberian hijauan berupa daun lamtoro, daun  turi, dan daun nangka yang mana tidak ditemukan data pemberian hijauan dalam praktikum ini. Hijauan tersebut digunakan sebagai pakan basal  dan diduga memberikan pengaruh terhadap performa kambing. Faktor-faktor yang mempengaruhi FCR antara lain adalah pakan, jenis kelamin, umur, dan masa laktasi. FCR juga dipengaruhi oleh kualitas ternak yang dipelihara (termasuk daya adaptasinya terhadap pakan yang diberikan), kualitas bahan pakan yang diberikan, dan metode pemberian pakan yang digunakan (Reksohadiprojo, 1995). Konversi ransum khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan, dan nilai kecernaan (Martawidjaya et al., 1996).

Data Vital

          Pengamatan praktikum selama 4 pekan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan data vital dari masing-masing kambing. Hal tersebut terdapat pada tabel berikut,

Tabel 7. Data vital kambing suplemen medium protein shift I Desa Tegal
Medium I
Identifikasi
Panjang badan
Lingkar dada
Tinggi gumba
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Betina
69,5
69,5
69,5
69,5
99
105
106
84
73
73
74
75
Betina
67
67
67
68
93
93
93
93
72
72
72
68
Jantan
54
60
61
62
82
91
93
93
75
75
76
76
Betina
59
60
60
61
82
93
93
93
76
76
76
76,5







Tabel 8. Data vital kambing suplemen medium protein shift II Desa Tritis
Medium II
Identifikasi
Panjang badan
Lingkar dada
Tinggi gumba
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Betina
72
72
73
74
88
88
88
89
77
73
75
75
Betina
66
67
72
79
88
92
92
92
71
74
74
74
Betina
61
68
70
71
76
78
78
78
75
75
75
75
Jantan
62
77
77
79
87
87
88
89
77
80
75
84

Grafik 9. Data panjang badan kambing suplemen medium protein II Desa Tritis

Tabel 9. Data vital kambing suplemen medium protein shift III Desa Turgo
Medium III
Identifikasi
Panjang badan
Lingkar dada
Tinggi gumba
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Betina
72
72
73
73
85
85
85
86
74
74
74
74
Betina
70
70
70
70
82
84
86
87
73
74
75
75
Betina
69
70
71
74
95
96
96
97
79
80
81
81
Betina
60
61
61
61
82
83
84
82
62
62
63
63



Grafik 12. Data panjang badan kambing suplemen medium protein III Desa Turgo

Tabel 10. Data vital kambing dengan suplemen low protein shift III Desa Turgo
Low III
Identifikasi
Panjang badan
Lingkar dada
Tinggi gumba
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Jantan
50
49
49
49
68
70
73
74
66
63
74
74
Jantan
51
55,5
58
59
78
77
78
79
68
70
73
80
Jantan
61
65
66
68
80
80
81
81
71
75
75
76
Betina
70
70
70
70
98
94
94
94
72
73
73
73
Betina
64
64
65
69
81
80
81
82
74
74
74
74



Grafik 15. Data panjang badan kambing suplemen low protein III Desa Turgo

Tabel 11. Data vital kambing suplemen high protein shift III Desa Turgo
High III
Identifikasi
Panjang badan
Lingkar dada
Tinggi gumba
I
II
III
IV
I
II
III
IV
I
II
III
IV
Betina
69
69
75
70
72
72
80
79
74
75
80
75
Betina
67
71
80
79
74
83
86
82,5
82
79
75
72
Betina
72
68
72
76
72
76
80
81
73
73
73
73
Betina
82
82
80
81
80
83
86
87
75
76
77
78



Grafik 18. Data panjang badan kambing suplemen high protein III Desa Turgo


          Berdasarkan data vital kambing PE dari ketiga kelompok ransum medium protein di tempat yang berbeda menunjukkan peningkatan, sedangkan pada ransum yang berbeda di tempat yang sama menunjukkan adanya penurunan pada penggunaan ransum Low di Desa Turgo terhadap lingkar dada ternak. Hal ini diduga karena pemberian protein yang rendah pada pakan ternak. 

Menurut Blakely dan Bade (1991), pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan penampilan luar ternak. Kondisi pakan yang baik yaitu pakan yang cukup mengandung nutrien yang dibutuhkan ternak yang meliputi air, protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Serta ditunjang dengan tingkat pemanfaatan bahan yang cukup tinggi oleh ternak yang bersangkutan dan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak dan peningkatan berat badan ternak, sedangkan menurut Chamdi (2005) lingkar dada dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur ternak, kondisi lingkungan hidupnya seperti letak ketinggian dari permukaan laut maupun pakan yang ada. Hartaja et, al (2013) menambahkan bahwa imbangan nitrogen dapat dipakai untuk menentukan kebutuhan protein guna keperluan pertumbuhan, dimana takaran minimal protein yang memberi retensi maksimal untuk pertumbuhan ternak dalam prinsip. imbangan nitrogen adalah kebutuhan protein bagi ternak yang bersangkutan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan praktikum yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengaruh pemberian supplemen sumber protein pada perlakuan low protein dapat  meningkatkan PBBH (peningkatan berat badan harian), menurunkan FCR, dan meningkatkan data vital kambing PE. Pemberian suplemen sumber protein perlakuan medium protein dapat meningkatkan PBBH, menurunkan FCR, dan meningkatkan data  vital kambing PE. Pengaruh pemberian suplemen sumber protein pada perlakuan high protein dapat meningkatkan PBBH, menurunkan FCR, dan meningkatkan ukuran data vital kambing PE. Perbedaan lokasi pada pemeliharaan, kambing PE dengan perlakuan pemberian suplemen sumber protein tingkat medium, menunjukkan bahwa lokasi pemeliharaan III (Desa Turgo) memiliki ADG tertinggi pada kambing PE.

SARAN

Saran untuk praktikum selanjutnya adalah saat pengambilan data, diusahakan semua data yang dibutuhkan dan sekiranya mempengaruhi hasil praktikum dilengkapi sebaik mungkin, agar dapat mendukung variabel yang akan dibahas.



DAFTAR PUSTAKA


Adriani, I-K., Sutama A., Sudono T., Sutardi dan W. Manalu. 2003. Pengaruh Superovulasi Sebelum Perkawinan dan Suplementasi Seng Terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Produksi Ternak, Fak. Peternakan Univ. Jenderal Soedirman. 6: 86-94.
Admin, K. 2009. Ternak Potong di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Agus, A. 2008. Panduan Bahan PakanTernak Ruminansia. Ardana Media. Yogyakarta.
Ali, Usman. 1999. Pengaruh Penggunaan Onggok dan Isi Rumen Sapi Dalam Pakan Komplit Terhadap Penampilan Kambing Peranakan Etawah. Universitas Islam Malang. Malang
Amirroenas D.E. 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet dengan Bahan Serat Biomasa Pod Coklat (Theobromacacao L.) untuk Pertumbuhan Sapi Perah Jantan. Tesis. (Tidak dipublikasikan). Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makan Ternak Umum. Gramedia Pustaka Umum. Jakarta.
Astutik, S.I., M. Arifin, dan W.S. Dil'aga. 2002. Respon produksi sapi Peranakan Ongoie berbasis pakan jerami padi terhadap formula urea molasses block. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Petemakan dan Veteriner. Pusat.
Briliyan. 2009. Laporan Praktek Kerja Lapangan, “Kajian Kualitas Ransum Kambing Peranakan Ettawa di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Ruminansia Kendal”. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Budiartama, IGM., dan I-Ketut Sutama. 2003. Karakteristik Produktivitas Kambing Peranakan Etawah. Lokakarya Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Chamdi, Achmad Nur. 2005. Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Biodiversitas Vol.6 No.1 Hal.70-75 Januari 2005
Chuzaemi, S. dan Hartutik, 1995. Ilmu Makanan Ternak Khusus (Ruminansia). NUFFIC LUW  Unibraw. Malang.
Derrick. 2005. Protein in Calf Feed. http: //www.winslowfeeds.co.nz/pdfs/feedingcalvesarticle.pdf. (2 Februari 2005).
Dhalika, T., Endang Y.S., Siti N., dan Yuli A.H. 2010. Nilai Nutrisi Ransum Lengkap Mengandung Berbagai Taraf Hay Pucuk Tebu (Saccarum oficinarum) Pada Domba Jantan Yang Digemukkan. Jurnal Ilmu Ternak Juni 2010 Vol.10 No.2  79-84. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran. Bandung.
Esminger, M.E. 1992. The Stockman Handbooks (Animal Agriculture Series). Seventh Edition. Interstate Publisher Inc. Danville. Illionois.
Fadilah, S. D., E. K. Artati, dan A. Jumari. 2008. Biodelignifikasi Batang Jagung Dengan Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete Chrysosporium. Ekuilibrium Vol. 7 No. 1.
Forbes and Shariatmadari, J.M. and F. Shariatmadari. 1994. Diet Selection By Poultry. World’s Poult. Sci. J.
Guntoro, S., Sriyanto, N. Suyasa dan M. Rai Yasa. 2006. Pengaruh Pemberian Limbah Kakao Olahan terhadap Pertumbuhan Sapi Bali (Feeding of Processed Cacaoby-Product to Growing Bali Cattle). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Ngurahrai. Denpasar.
Harimurti, Niken. 2010. Potensi Limbah Kulit Buah Kakao (Theobroma Cacao L.) Sebagai Bahan Baku Bioetanol Generasi II.Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor.
Hartaja, K.A.P., T.H. Suprayogi, dan Sudjatmogo. 2013. Tampilan Pertambahan Bobot Badan Harian dan Kadar Urea Darah pada Kambing Perah Dara Peranakan Ettawa Akibat Pemberian Ransum dengan Suplementasi Urea yang Berbeda. Universitas Diponegoro. Semarang. Animal Agricultural journal, Vol.2 No.1, p 458-465
Hadjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana. Jakarta.
Hartadi, H., S.Reksohadiprojo, AD.Tillman. 1997. Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Ternak. Fakultas Peternakan. Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius. Yogyakarta.
Marliyati, S., A. Ahmad, S. Faisa, A. 1992. Pengolahan Pangan Tingkat Rumah Tangga. IPB. Bogor.
Martawidjaya, M., S. S. Sitorus, B. Setiadi dan Isbandi. 1996. Studi Produktivitas dan Efisiensi Penggunaan Pakan pada Kambing Sapihan. Balitnak. Puslitbangnak. Bogor.
Miskiyah, Ira Mulyawati dan Winda Haliza. 2006. Pemanfaatan Ampas Kelapa Limbah Pengolahan Minyak Kelapa Murni Menjadi Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Murni, R., Suparjo, Akmal, B.L. Ginting. 2008. Pemanfaatan Limbah Sebagai Bahan Pakan Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi. Jambi.
Nasrullah dan A. Ella, 1993. Limbah Pertanian dan Prospeknya sebagai Sumber Pakan Ternak di Sulawesi Selatan.  Makalah. (Tidak dipublikasikan). Ujung Pandang.
NRC. 1981. Nutrient Requirement of Goats. No. 15. National Academy Press. Washington, D.C.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Preston, T.R. dan Leng, R.A.. 1987. Matching Ruminant Production System With Available Resources In The Tropics And Subtropics. Penambul Book, Armidale-Australia.
Priyono. 2009. Premix. Available at: http://www.ilmupeternakan.com/2009/ 03/premix.html. Diakses pada tanggal 28 Mei 2014 pukul 11.00WIB.
Raharjo, Y.C., T. Haryati, dan Donna Gultom. 2000. Evaluasi Nilai Nutrisi Pollard Gandum Terfermentasi dengan Aspergillus Niger Nrrl 337 Pada Itik Alabio Dan Mojosari. Seminar Nasional Peternakan dan Veleriner 2000. Bogor.
Reksohadiprojo, S. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropis. Badan Penerbitan Fakultas Ekonomi. Yogyakarta.
SNI. 1998. SNI-01-4484-1998. Badan Standardisasi Nasional. Indonesia.
Soeharsono, Supriadi, dan Winarti Erna. 2005. Pengaruh Pemberian Tepung Gaplek-Urea yng Dikukus Terhadap Konsumsi dan Kecernaan Protein Serta Neraca Nitrogen pada Domba. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Yogyakarta
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Soepranianondo, Koesnoto., Nazar Dady Sugianto, dan Handiyatno Didik. 2007. Potensi Jerami Padi yang Diamoniasi dan Difrmentasi Menggunakan Bakteri Selulolitik terhadap Konsumsi Bahan Kering, Kenaikan Berat Badan dan Konversi Pakan Domba. Universitas Airlangga. Surabaya
Susanti, Sri dan Eko Marhaeniyanto. 2007. Kecernaan, Retensi Nitrogen  dan Hubungannya dengan Produksi Susu Pada Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) yang diberi Pakan Pollard  dan Bekatul. Jurnal Vol.15 No.2 Tahun 2007. Fakultas Peternakan Universitas Tribhuwana Tunggadewi.
Sukarini, I. A. M. 2006. Produksi dan Komposisi Air Susu Kambing Peranakan Etawah yang Diberi Tambahan Konsentrat Pada Awal Laktasi. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Udayana. Denpasar.
Sutama, I-K., Igm. Budiarsana, H. Setianto and A. Priyanti. 1995. Productive and Reproductive Performances of Young Peranakan Etawah Does. Jiltv 1(2): 81-85.
Suwarno, R., 1998. Mempraktekkan Pelajaran Pertumbuhan dan Hewan Relasi Antara Lingkar Dada, Panjang Badan dan Bohot Badan. Hemera Zoa.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo Dan S. Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan Ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Utomo, R., S. Proyono, A. Agus, dan  C.T Noviandi. 2008. Buku Ajar Bahan Pakan dan Formulasi Ransum PTN 2401. Laboratorium TMT Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Weston, R. H. 1982. Principles of Feed Intake Control in Ruminant Given Roghages. In: PT. Doyle (Eds). Utilization of Fibrous Agricultural Residues as Animal Feeds. Proc.of The 3 rd. Annual Residues Research Network. New York. Pp : 14-27.
Yuwanta, T. 2004. Dasar-dasar Ternak Unggas.Kanisius. Yogyakarta.
Zuprizal dan M. Kamal. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.