LAPORAN PRAKTIKUM RANSUM RUMINANSIA (RANRUM)
Contoh LAPORAN RANSUM RUMINANSIA (RANRUM) untuk fakultas peternakan diamanpun anda berada.
BAB I PENDAHULUAN
Kambing merupakan salah satu hewan
yang dapat hidup baik pada kondisi iklim tropis dan mampu mencari
bermacam-macam tanaman berdaun sebagai pakan utamanya. Pakan menjadi faktor penting
yangmempengaruhi produktivitas kambing. Kualitas dan kuantitas yang tidak mencukupi kebutuhan,
menyebabkan produktivitas kambing menjadi rendah, antara lain ditunjukkan oleh laju
pertumbuhan yang lambat dan bobot badan rendah. Upaya untuk mencukupi kebutuhan
gizi dan memacu pertumbuhan, dapat dilakukan dengan cara memberi pakan
tambahankonsentrat.
Ransum
adalah beberapa konsentrat dicampur menjadi satu lalu diberikan pada kambing
selama satu hari untuk memenuhi kebutuhan nutriennya tanpa mengganggu
kesehatannya. Ransum lengkap (complete feed) merupakan pakan tunggal
hasil pencampuran bahan-bahan pakan yang telah diproses untuk menghindari
seleksi pakan oleh ternak. Ransum yang berkualitas baik berpengaruh pada proses
metabolismetubuh ternak sehingga ternak dapat menghasilkan daging yang sesuai
denganpotensinya. Pengaruh pemberian ransum dapat diamati dari performance kambing setelah diberi
formulasi ransum. Pengamatan performance kambing
antara lain dengan menimbang berat badan serta mengukur data vital (panjang
badan, lingkar dada, dan tinggi gumba) setiap minggu sekali.
Tujuan dari
praktikum ransum ruminansia ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui
teknik penyusunan ransum, pencampuran ransum ruminansia terutama ruminansia
kecil serta mengetahui pengaruh langsung pemberian ransum ke ternak dengan cara
aplikatif.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Kambing PE
Kambing merupakan ternak yang cukup
efisien dalam pemanfaatan vegetasi alam yang tumbuh di lahan marginal (Sharma et al., 1992). Selanjutnya dilaporkan
pula bahwa kambing memiliki nilai yang lebih ekonomis ditinjau dari segi
pemeliharaannya serta merupakan ternak yang paling mudah dipergunakan dalam
upaya pengentasan kemiskinan di pedesaan terutama di daerah tropis (Deoghare dan
Ram, 1992).
Salah satu
bangsa kambing lokal yang ada di Indonesia adalah kambing ‘Peranakan Etawah’
(PE). Kambing PE merupakan hasil persilangan antara kambing Jamnapari (lebih
dikenal dengan kambing etawah) dengan ka,ning lokal. Kambing PE diketahui merupakan
tipe kambing dengan fungsi ganda, yakni sebagai penghasil daging dan susu.
Kambing PE betina dewasa dapat mencPi bobot hidup seberat 45 kg (Tillman, 1991)
dengan produksi susu harian dapat mencapai sejumlah 2,5 kg (Sutama et al., 1995). Ketersediaan pakan yang
berkesinambungan dan berkualitas agar dapat memenuhi kebutuhan ternak kambing
sesuai dengan status fisiologis ternak, merupakan jaminan tingkat keberhasilan
usaha peternakan, khususnya kambing PE.
Kambing PE
merupakan salah satu ternak yang cukup potensial sebagai penyedia protein
hewani baik melalui daging maupun susunya. Sementara ini, pengembangan kambing
PE sebagai penghasil susu belum banyak diperhatikan dan pemeliharaan masih
bersifat tradisional. Pakannya sebagian besar hanya rumput lapangan saja
sehingga belum bisa mencukupi kebutuhan fisiologis ternak terutama dari sumber
energi dan protein (Sukarini, 2006).
Ransum
Ransum
adalah sejumlah pakan yang dikonsumsi ternak selama 24 jam tanpa memperhatikan
nutrien yang ada untuk seekor ternak. Ransum seimbang atau ransum serasi (balanced ration) adalah ransum yang
mengandung semua nutrien yang dibutuhkan ternak sesuai dengan tujuan
pemeliharaan. Kegunaan dari formulasi ransum adalah untuk menuangkan
pengetahuan tentang zat atau beberapa makanan (ransum) yang dapat memenuhi
kebutuhan ternak yang mempunyai tingkat produksi tertentu yang dikehendaki oleh
peternak (Kamal, 1998).
Ransum merupakan salah satu
faktor yang menentukan dalam industri peternakan karena disamping menentukan
produktivitas ternak juga tingkat keuntungan finansial usaha tersebut. Menyusun
ransum atau formulasi ransum merupakan “seni atau an art” karena disamping harus memenuhi persyaratan-persyaratan
ilmiah juga dibutuhkan suatu strategi maupun kelincahan yang merupakan seni
dalam mencari dan menentukan bahan pakan yang akan digunakan dalam formulasi
ransum. Tingkat kebutuhan ternak akan nutrien harus dipertimbangkan dalam
menyusun ransum sehingga mampu memenuhi total kebutuhan ternak (Utomo et al., 2008).
Tipe ransum
yang diberikan ada dua yaitu complete
feed (ransum lengkap) dan pemberian terpisah antara konsentrat dan hijauan.
Complete feed (ransum lengkap) adalah
ransum yang disusun sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi tambahan
bahan makanan atau zat makanan apapun dari luar; siap diberikan kepada ternak untuk
memenuhi kebutuhan fisiologisnya (Kamal, 1998).Menurut Anggorodi (1994) mengatakan bahwa ransum adalah makanan yang
disediakan bagi ternak untuk 24 jam. Suatu ransum seimbang menyediakan semua
zat makanan yang dibutuhkan untuk memberi makan ternak selama 24 jam.
Formulasi pakan dan teknik
pencampuran pakan yang efisien dan efektif akan menghasilkan pakan dengan mutu
baik dan harga murah. Berdasarkan kebutuhan nutrien dari ternak, formulasi
pakan dengan metode “trial and error” sudah tidak dianjurkan lagi
(khususnya untuk “home-mixing”).Terlebih lagi dengan relatif murahnya
harga komputer dan software untuk formulasi pakan.Teknik pencampuran pakan yang
baik adalah teknik yang mampu menghasilkan pakan dengan tingkat homogenitas
yang tinggi. Beberapa bahan baku suplemen aditif penting seperti vitamin,
mineral, anti oksidan, asam amino dan lain mikronutrien lain biasanya memiliki
porsi yang sangat kecil dalam pakan. Selain itu bahan baku berupa cairan juga
harus tercampur homogen dalam pakan (Achmadi, 2007).
Bahan Pakan
Bahanpakan adalah suatu bahan yang dimakan oleh ternak yang mengandung energi dan
zat-zat gizi di dalam bahan pakan (Hartadi, 1993).Bahan makanan adalah bahan
yang dapat dimakan, dan digunakan oleh hewan untuk pertumbuhan, produksi dan
hidup pokok ternak (Tillman et al.,
1991). Kebutuhan ternak akan pakan dicerminkan oleh kebutuhannya terhadap
nutrisi. Jumlah nutrisi setiap harinya sangat tergantung pada jenis ternak,
umur, fase pertumbuhan (dewasa, bunting dan menyusui), kondisi tubuh, dan
lingkungan tempat hidupya, serta bobot badannya (Tomas, 1993).
Pertumbuhan
produksi dan hidup pokok hewan memerlukan zat gizi.Pakan ternak mengandung zat
gizi untuk keperluan kebutuhan energi maupun fungsi-fungsi (pertumbuhan,
produksi dan hidup pokok) tetapi kandungan zat gizi pada masing-masing pakan
ternak berbeda (Parakkasi, 1995). Klasifikasi bahan pakan secara internasional
telah membagi bahan pakan menjadi 8 kelas, yaitu hijauan kering, pasture atau
hijauan segar, silase, sumber energi, sumber protein, sumber mineral, sumber
vitamin, zat additive (Tillman et al.,
1991).
Bahan
pakan dibagi menjadi dua menurut sumbernya, yaitu nabati dan hewani.Bahan pakan
nabati adalah pakan yang berasal dari tanaman pangan seperti jagung, sorgum dan
gandum.Bahan pakan hewani adalah bahan pakan yang bersumber dari hewan seperti
udang, ikan dan darah (Rasyaf, 1994). Secara Internasional bahan pakan dapat
dibagi menjadi 8 kelas yaitu hijauan kering, pasture, silase, sumber energi,
sumber protein, sumber mineral, sumber vitamin dan zat additive (Tillman et al., 1991).
Kulit Coklat
Pod kakao merupakan produk samping buah tanaman kakao (Theobroma cacao) dengan jumlah sebesar
75,67% dari biji kakao. Produk samping buah kakao tersebut meningkat dari tahun
ke tahun dengan laju peningkatan sebesar 12,9% (Laconi, 1998). Produk samping
perkebunan kakao, kulit buah kakao (KBK) dimanfaatkan sebagai bahan organik pembuatan
pupuk dan bahan pakan untuk menggantikan sumber – sumber pakan konvensional.
Dilihat dari komposisinya, KBK mengandung 7,75% protein dan energi sebesar 3900
kkal/kg yang melebihi komposisi rumput gajah, yaitu 6,9% protein dan energi
sebesar 3800 kkal/kg (Puastuti et al., 2009).
Menurut Rinduwati dan Ismartoyo (2002), KBK mengandung
87,28% bahan kering, 13,78% protein, 41,45% serat kasar, dan 30,95% BETN.
Berdasarkan kadar energi dan protein serta ketersediaan bahan tersebut, maka
penggunaan KBK sebagai bahan pakan cukup potensial. Penggunaan KBK sebagai
pakan pengganti rumput atau hijauan pada sistem integrasi kakao – ternak dapat
mengurangi dampak negatif dari pembusukan KBK, mengatasi masalah kekurangan
rumput pada musim kemarau dan menghemat waktu pengadaan pakan, sehingga waktu
yang ada bisa dimanfaatkan untuk kegiatan lain yang lebih produktif.
Selain memiliki potensi produksi dan komposisi nutrien yang
baik, KBK juga memiliki faktor pembatas diantaranya memiliki kandungan lignin
yang tinggi yaitu 27,95 – 38,78% sehingga dapat mempengaruhi daya cerna. Kulit
buah kakao juga mengandung alkaloid theobromin (3,7-dimethylxanthine) sebanyak
0,17 – 0,22% (Wong dan Hasan, 1988), kafein (1,3,7-trimetilxanthine) sebanyak
1,8 – 2,1% dan mengandung tanin sebanyak 0,84% (Rinduwati dan Ismartoyo, 2002).
Tingginya kandungan tanin dan lignin dapat menurunkan daya cerna, karena tanin
dapat mengikat protein, selulosa, dan hemiselulosa sehingga aktivitas enzim
protease dan selulase menjadi terhambat.
Bungkil Kedelai
Bungkil kedelai adalah produk hasil
ikutan penggilingan biji kedelai setelah diekstraksi minyaknya secara mekanis
(ekspeller) atau secara kimia (solvent).Bungkil kedelai yang dihasilkan secara
mekanis lebih banyak mengandung minyak dan serat kasar, serta lebih sedikit
kandungan proteinnya dibandingkan dengan bungkil kedelai yang dihasilkan dengan
menggunakan larutan hexan (Suryahadi et al., 1997).Bungkil kedelai
merupakan limbah dari industri minyak kedelai. Bungkil ini sangat disukai
ternak Secara kualitatif kualitas
bungkil kedelai dapat di uji dengan menggunakan kerapatan tumpukan dan uji
apung. Kerapatan tumpukan yang baik adalah 594,1-610.2 kg/m3 (Mcdonald et
al., 1995).
Bungkil kedelai merupakan limbah dari
pembuatan minyak kedelai yang banyak dimanfaatkan untuk ternak. Bungkil kedelai
mengandung protein kasar sebesar 44,0% dan energi metabolis 2230 kkal/kg
(tangendjaja, 1987). Bungkil kedelai merupakan suplemen protein yang biasa
digunakan dalam ransum domba, karena mempunyai palatabilitas yang tinggi, daya
cerna yang tinggi dan asam amino yang seimbang (Cheeke et al., 1982). Keuntungan bungkil kedelai sebagai penyusun ransum
antara lain adalah dapat meningkatkan kualitas protein yang dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan protein. Bungkil kedelai mempunyai kandungan protein yang
tinggi dan berkualitas baik, tetapi rendah akan kandungan kalsium dan phospor
serta tidak mengandung vitamin A dan D (Parakkasi, 1993), kandungan nutrisi
bungkil kedelai menurut NRC (1994), yaitu protein kasar 44%, lemak 0,8%, serat
kasar 7%, Ca 0,29%, P 0,275% dan energi metabolis 2230 kkal/kg.
CGM (Corn Gluten Meal)
Menurut Pfost (1976), CGM adalah sisa
dari penggilingan jagung dalam proses produksi pati dan sirup jagung yang
merupakan residu dari pemisahan pati dan lembaga jagung dan dikeringkan. CGM
selain sebagai sumber energi juga berperan sebagai sumber protein. Kandungan
protein kasar CGM lebih tinggi dibandingkan dengan tepung ikan yaitu sebesar
62%. CGM adalah hasil ikutan proses penggilingan jagung secara basah dari
jagung yang digunakan dalam industri sirup kaya frukstosa. Karena dari bagian
pati dan lembaga yang menghasilkan energi dipisahkan maka hasil ikutan yang
tersisa adalah bagian yang banyak mengandung protein. CGM sangat kaya dengan
protein sehingga bersaing dengan protein hewani (Amrullah, 2003).
Menurut Ensminger (1990), CGM sudah lama
diproduksi untuk bahan makanan ternak dengan mengandung rata-rata protein kasar
sekitar 43% sampai 70% dan rendah akan lysine
dan tryptophan. CGM diperoleh
dengan memisahkan gluten dengan starch (pati)
menggunakan mesin separator yang prinsip kerja pemisahannya berdasarkan berat
jenis cairan.
Bungkil Kopra
Bungkil kopra (Cocos nucifera) merupakan produk samping dari kegiatan ekstraksi
minyak kelapa. Bungkil kopra sering digunakan sebagai sumber protein dalam
ransum ruminansia dengan nutrisi yaitu 59,6% karbohidrat, protein 21,9%, dan
lipid 2,2% (Hertrampf and Pascual, 2000). Tepung kopra juga mengandung mannan 2
sampai 30% yang merupakan sumber biomasa setelah selulosa dan xylan banyak
terdapat pada limbah sawit dan kopra (Yopi et
al., 2006).
Pollard
Dedak gandum atau pollard adalah salah satu hasil ikutan dari proses penggilingan
gandum, merupakan campuran wheat middling
dan dedak gandum, yang hampir seluruhnya terdiri dari lapisan luar biji
gandum yang kasar, sehingga bersifat amba, kaya akan serat serta rendah
kandungan energi metabolisnya. Wheat
middling terdiri dari partikel halus, dedak gandum, sedikit lembaga dan endosperm
sedangkan dedak gandum terdiri dari lapisan kulit ari terluar (perikarp) dari
gandum, selama penggilingan akan dihasilkan wheat
pollard gandum sebesar 10%. Pollard mengandung
polisakarida non pati yang bersifat tidak larut seperti selulosa, lignin, dan
hemiselulosa tipe D-xilan dengan tambahan L-arabinofuranosa dan D-asam
glukuronat (Tangendjaja dan Pattyusra, 1993).
Kadar protein dedak gandum rata-rata
adalah 15%, lemak 4% dan biasanya kadar seratnya tidak lebih dari 10%. Dedak
gandum mengandung Mg dan kaya akan vitamin B kompleks yang sangat penting untuk
pertumbuhan unggas (Kiroh, 1992). Lesson dan Summers (2001) menyatakan bahwa
batas toleransi penggunaan pollard dalam
ransum ayam muda tipe petelur maksimal 8%, breeding
ayam petelur maksimal 15%, breeding ayam
pedaging maksimal 10% dan ayam pedaging umur 4 sampai 8 minggu maksimal 20%.
Pollard merupakan hasil sampingan tepung gandum dan bentuknya
berupa pecahan gandum. Komposisi kimia pollard antara lain DM 86%, abu
4,2%, Ekstrak Eter 45%, SK 6,6%, BETN nitrogen 14,1%, PK 16,1% (Hartadi et
al, 2005). Sisa-sisa penggilingan gandum biasanya memiliki kandungan serat
kasar yang lebih rendah daripada dedak gandum, sedangkan nilai TDN lebih rendah
dibandingkan middlings (gandum ukuran sedang) (Agus, 2008).
Bekatul
Bekatul merupakan hasil sampingan atau
limbah dari proses penggilingan padi. Bekatul menurut hasil penelitian, kurang
lebih 8% sampai 8,5% dari berat padi adalah bekatul. Nutrien yang terdapat
dalam bekatul adalah protein kasar 9% sampai 12%, pati 15% sampai 35%, lemak 8%
sampai 12%, serta serat kasar 8% sampai 11% (Agus, 2008).
Bekatul memiliki kandungan serat kasar
yang lebih tinggi daripada jagung atau sumber energi yang lain. Oleh karena
itu, bekatul diberikan dalam jumlah yang terbatas, tergantung pada jenis
ternaknya, untuk menghindari serangga atau bau tengik sehingga kualitas bekatul
tidak berkurang, sebaiknya bekatul dijemur terlebih dahulu selama 3 sampai 4
hari. Penjemuran dilakukan sebelum bekatul disimpan atau digunakan sebagai
bahan baku pakan. Komposisi kimia bekatul antara lain
DM 86%, CP 12%, fat 10,7%, CF 5,2%, NDF 6,8%, ADF 4,3%, Ca 0,04%, P
1,27%, TDN 73%. Bekatul sebagai komoditi yang cukup terbatas ketersediaannya
karena tergantung pada musim panen padi serta menjadi kebutuhan utama bagi
peternak yang membuat pakan campuran sendiri sehingga mendorong tingginya harga
jual bekatul di pasaran.
Ada beberapa bahan yang sering digunakan untuk memanipulasi bekatul
seperti sekam giling, limestone, zeolite, dan limbah tepung tapioka atau
onggok (Agus, 2008). Bekatul hampir mirip dengan dedak lunteh, terdiri atas
kulit beras dalam jumlah besar dan sedikit pecahan kulit gabah, tetapi kulit
berasnya jauh lebih banyak daripada dedak lunteh (Sudarmono, 2003).
Gaplek
Menurut Makfoeld (1982), gaplek adalah
umbi akar ketela pohon terkupas yang telah dikeringkan. Pengeringan dapat
dilakukan dengan sinar matahari (penjemuran) atau pengeringan buatan. Kandungan
air pada gaplek antara 14 sampai 15% akan tahan disimpan selama 3 sampai 6
bulan. Kualitas gaplek dapat ditentukan berdasarkan kandungan air, warna,
adanya kotoran serta kapang yang ada. Kandungan air yang tinggi akan merupakan
media yang baik untuk tumbuhnya kapang jenis Aspergillus, Rhizopus atau Penicillium.
Gaplek digunakan sebagai pakan ternak
sumber energi, namun demikian sistem pemberian pada ternak sangat terbatas.
Gaplek merupakan bahan pakan sumber energi yang baik, dengan kandungan energi
3000 kcal per kg, protein kasar 3,3%, lemak kasar 5,3%, phospor 0,17% dan
kalsium 0,57% (Tillman et al., 1991).
Tingginya kandungan karbohidrat dalam gaplek mengakibatkan tingkat degradasi
didalam rumen juga tinggi dan berlangsung cepat.
Molasses
Tetes atau
dikenal dengan nama molasses
merupakan limbah hasil dari pabrik gula tebu, praktis tidak mengandung protein
tetapi kaya karbohidrat yang mudah dicerna. Tetes dapat digunakan sebagai pakan
ternak secara langsung atau setelah mengalami proses pengolahan. Tetes
merupakan sumber energi yang tinggi karena kadar karbohidratnya tinggi, kadar
mineralnya pun cukup tinggi juga mempunyai rasa yang disukai ternak (Lubis,
1992). Nilai protein kasarnya sama dengan nitrogen non protein (Agus, 2008).
Molasses merupakan sumber energi yang dapat
meningkatkan palatabilitas pakan dan nafsu makan pada ternak (Cheeke, 2005). Molasses merupakan bahan pakan sumber
energi yang dapat difermentasi oleh mikrobia menjadi VolatileFattyAcid
(VFA) yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi dan kualitas susu.
Komposisi VFA dalam rumen adalah asam asetat sebanyak 50 sampai 60%, asam
propionat 18 sampai 20%, dan asam butirat sebanyak 12 sampai 18%. Pemberian
asam asetat dapat digunakan untuk metabolisme otot dan lemak tubuh serta dapat
mempengaruhi kualitas lemak susu. Asam butirat sebagian besar diubah menjadi
keton selama absorb melalui epithelium rumen. β-hydro-xybutiric acid (β-HBA)
merupakan 80% dari ketones yang dapat digunakan sintesis asam lemak di adipose
dan jaringan kelenjar susu (Heinrichs, 1998).
Premix
Premix mengandung
mineral dan pemberian sejumlah mineral bersifat esensial untuk kesehatan,
pertumbuhan, dan produksi ternak yang optimal (Phillips, 2008). Berdasarkan
sumbernya, mineral dibedakan menjadi dua macam yaitu Mineral Organik, mineral
organik sering dikelompokkan sebagai chelat dan proteinat. Trace element tersebut
berikatan dengan asam amino atau protein. Mineral organik diserap dalam usus
dengan mekanisme yang beda yang mungkin meningkatkan bioavailabilitasnya dan
membuatnya bermanfaat dalam situasi dimana mineral yang lain berkurang
bioavailabilitas mineral utamanya. Sayadi (2005), menyatakan
bahwa biovailabilitas mineral merupakan faktor penting. Kedua Mineral
Anorganik. Mineral anorganik umumnya ada dalam bentuk trace
mineral sulfat,
fosfat, klorida, karbonat, atau oksida. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa
sumber anorganik trace mineral lebih
tersedia dibanding yang lain.
BAB III MATERI DAN METODE
Materi
Ternak. Ternak untuk praktikum Ransum Ruminansia
dipersiapkan terlebih dahulu. Ternak yang digunakan merupakan ternak ruminansia
yaitu kambing peranakan Ettawa (PE). Ternak kambing PE tersebut dipelihara oleh
peternak di daerah Turgo, ternak yang digunakan sebanyak 4 sampai 5 ekor.
Ransum. Ransum yang akan diberikan kepada ternak
kambing PE disusun dengan berbagai bahan pakan yang dibungkus sebanyak 300
gram.
Alat. Alat yang digunakan dalam praktikum
adalah timbangan, pita ukur, penggaris jangka sorong, dan tali.
Bahan. Bahan yang digunakan dalam praktikum adalah bahan pakan
yang akan diransum meliputi kulit coklat, bungkil kedelai, CGM, kopra, pollard, bekatul, gaplek, molases, dan premix.
Metode
Tahap Persiapan. Persiapan yang dilakukan sebelum
praktikum adalah menyiapkan ransum pakan yang akan diberikan kepada ternak
kambing PE sebanyak 300 gram/hari. Langkah selanjutnya adalah identifikasi
ternak berdasarkan ciri-ciri pada tubuhnya, pengukuran data vital awal dan
bobot badan awal, dan pemberian nomer ternak.
Rancangan
Penelitian. Rancangan penelitian yang
dilakukan pada praktikum Ransum Ruminansia dilakukan dengan 3 perlakuan ransum yaitu high protein, medium
protein, dan low protein. Setiap
perlakuan ransum dilakukan replikasi sebanyak 5 yaitu diberikan kepada 5 ekor
ternak.
Penyiapan
Pakan dan Pemberian Pakan.
Ransum pakan
disusun sehari sebelum pemberian pakan dilakukan dengan mencampurkan semua
bahan pakan dengan proporsi yang berbeda sehingga diperoleh ransum pakan dengan
kandungan protein yang berbeda pula yaitu high
protein, medium protein, dan low protein. Ransum pakan yang telah
disusun dibungkus sebanyak 300 gram. Pemberian pakan dilakukan sebanyak 300
gram/hari.
Variabel yang Diamati
Pengamatan
dan pengambilan data dilakukan seminggu sekali meliputi pertambahan bobot badan
dan pengamatan data vital pada ternak kambing PE tersebut.
Pertambahan
Bobot Badan Harian.
Pertambahan
bobot badan dapat diamati dengan melakukan penimbangan ternak setiap minggu
setelah diberi perlakuan pemberian pakan. Hasil timbangan bobot badan akhir
dicatat kemudian dikurangi dengan hasil timbangan bobot badan awal ternak.
FCR. Pengamatan
data feed convertion ratio (FCR)
dilakukan dengan pengukuran feed intake
dibagi dengan pertambahan bobot badan (gain).
Hasil perhitungan kemudian dicatat.
Data Vital. Pengamatan data vital meliputi lingkar dada, panjang
badan, dan tinggi gumba. Pengukuran panjang badan dan tinggi gumba dengan
menggunakan jangka sorong dan penggaris, kemudian lingkar dada dengan menggunakan
pita ukur. Hasil pengukuran dicatat.
Persiapan
yang dilakukan sebelum praktikum adalah menyiapkan ransum pakan yang akan
diberikan kepada ternak kambing PE sebanyak 300 gram/hari. Langkah selanjutnya
adalah identifikasi ternak berdasarkan ciri-ciri pada tubuhnya, pengukuran data
vital awal dan bobot badan awal, dan pemberian nomer ternak.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Kambing PE
Kambing etawa
diperkenalkan Pemerintah Hindia Belanda sejak tahun 1908, dan dikembangkan
dengan pola grading up. Langkah ini
dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan gizi masyarakat yang dalam perkembangan
selanjutnya dimanfaatkan sebagai ternak dwiguna, yakni sebagai sumber daging
dan susu (Budiarsana
dan Sutama, 2001). Berikut data ternak yang digunakan sebagai probandus dalam
praktikum:
Tabel 1.
Identifikasi kambing Peranakan Etawa
Parameter
|
No. Identifikasi
|
|||
1
|
2
|
3
|
4
|
|
Kondisi fisiologis
|
Sehat, sedang bunting
|
Sehat
|
Sedang bunting
|
Sedang laktasi
|
Berat badan (kg)
|
61
|
49,4
|
72,5
|
39
|
Poel
|
3
|
3
|
3
|
4
|
Perkiraan umur (tahun)
|
3,5 – 4
|
3,5 – 4
|
3,5 – 4
|
>4
|
Deskripsi identifikasi
|
Kepala terdapat corak coklat sampai leher
|
Bulu putih, corak coklat disekitar mata
|
Terdapat corak coklat dikepala hingga leher dan ekor.
Hidung berwana putih
|
Corak coklat dibagian kepala, punggung dan ekor
berwarna hitam
|
Kebutuhan ternak. Kebutuhan
ternak untuk kambing PE saat praktikum dilakukan dengan pemberian perlakuan
pakan dengan kandungan protein yang berbeda-beda. Pemberian pakan dilakukan
dengan 3 perlakuan yaitu protein tinggi (high
protein), protein medium (medium protein) dan protein rendah (low protein). TDN (Total Digestible Nutrient) diasumsikan bahwa pakan yang diberikan memiliki TDN
lebih dari 65%. Penyusunan ransum dilakukan dengan medtode trial and error untuk setiap kategori
kandungan protein setiap ransum. Chuzaemi, dan Hartutik (1995), menyatakan
bahwa kebutuhan nutrien ternak ditentukan oleh hidup pokok dan tingkat
produksinya. Kebutuhan hidup pokok merupakan kebutuhan untuk mempertahankan
bobot hidup. Apabila pakan yang diperoleh melebihi dari kebutuhan hidup pokok
maka sebagian kelebihan akan digunakan untuk produksi.
Efisiensi produksi
susu dihitung berdasarkan energi atau protein yang terkandung dalam produksi
susu harian dalam kalori atau gram dibagi dengan energi atau protein dalam
pakan yang dikonsumsi per hari. Sedangkan efisiensi ekonomi produksi susu
dihitung berdasarkan nilai uang hasil penjualan dengan biaya pembelian pakan
(Budiarsana dan Sutama, 2001). Kebutuhan
nutrien kambing laktasi dengan bobot 45 Kg dan lemak susu 4% dalam 1 Kg susu,
yakni sebagai berikut:
Tabel 2. Kebutuhan
PK dan TDN kambing Peranakan Etawa
Kebutuhan
|
PK (gram)
|
TDN (gram)
|
Hidup pokok kambing bobot 45 Kg
|
69
|
489
|
Produksi susu dengan lemak susu 4%
|
72
|
346
|
Jumlah
|
141
|
835
|
(Nugroho, 2011)
Berdasarkan tabel kebutuhan PK dan TDN untuk kambing peranakan etawa bila dibandingkan dengan perlakuan praktikum dimana TDN diasumsikan lebih dari 65% dapat mempengaruhi konsumsi pakan. Menurut Purbowati et al., (2003), nilai TDN sebesar 62,37% dari pakan yang digunakan tidak terlalu besar, hal ini menyebabkan ternak akan lebih cepat merasa kenyang, sehingga konsumsinya tidak bertambah. Pakan yang berkualitas baik akan meningkatkan konsumsi.
Menurut Aka et al., (2008), kebutuhan BK, PK dan TDN induk kambing Peranakan
Etawa berdasarkan bobot badan metabolis adalah 106,66 g/kgBB/hari; 17,27
g/kgBB/hari; dan 65,55 g/kgBB/hari. Ditambahkan oleh Marwah et al., (2010), kebutuhan BK, PK dan TDN
kambing Peranakan Etawa yang sedang laktasi adalah 1,867 kg/hari, 0,344 kg/hari
dan 1,105 kg/hari. Menurut Weston (1982), Pemberian nutrien kepada ternak
terutama protein kasar, apabila sudah melebihi kebutuhan hidup pokok, maka akan
dapat meningkatkan produktivitasnya. Ternak yang mendapatkan protein ransum
lebih tinggi akan mempunyai pertambahan bobot badan (PBB) yang lebih tinggi dan
lebih efisien dalam menggunakan pakan. Menurut Preston dan Leng (1987).Kebutuhan
protein tertinggi diperlukan saat ternak berada pada status pertumbuhan awal,
melahirkan dan awal laktasi.
Selain itu protein dibutuhkan pula untuk produksi susu
khususnya untuk produksi kasein. Kebutuhan protein kasar ransum untuk hidup
pokok (maintenance) adalah 4,15 g/W
kg 0,75 dan untuk produksi susu adalah 77 g/kg susu dengan kadar lemak 4,5%
(NRC, 1981), sehingga produksi susu akan sangat ditentukan oleh protein dalam
ransum Disamping protein, ternak juga memerlukan energi untuk pemeliharaan
tubuh (hidup pokok), memenuhi kebutuhannya akan energi mekanik untuk gerak otot,
dan sintesa jaringan – jaringan baru. Bila hewan dalam keadaan kekurangan
makanan, ia tetap memerlukan energi untuk melaksanakan fungsi normal dari
tubuh, misalnya aktivitas kerja mekanik, otot-otot, kerja kimia, seperti
gerakan zat makanan ke dalam sel menentang konsentrasi yang lebih pekat, untuk
sintesa enzim-enzim essensial dan hormon yang penting untuk proses-proses
kehidupan, dan lain-lain. Energi yang diperlukan untuk kepentingan-kepentingan
tersebut diperoleh dari hasil katabolisme zat-zat cadangan dalam tubuh,
misalnya : glikogen, lemak dan protein.
Penampilan Ternak
Pertambahan Bobot Badan Harian (PBBH)
Pengamatan
praktikum selama 4 pekan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan bobot
badan dari masing-masing kambing. Hal tersebut terdapat pada tabel berikut
Tabel 3. Pertambahan
berat badan kambing Etawa/Minggu (Kg) dengan tingkat suplemen yang berbeda di 3 tempat
No. Identifikasi
|
Jenis Kelamin
|
Pertambahan Berat
Badan
|
ADG
(kg)
|
||||
I
|
II
|
III
|
|||||
Medium III
|
1
|
Betina
|
3,5
|
3
|
1,5
|
0.380952
|
|
2
|
Betina
|
4,1
|
1,5
|
-1
|
0.219048
|
||
3
|
Betina
|
3,5
|
2,5
|
4
|
0.47619
|
||
4
|
Betina
|
2
|
1,8
|
-1,8
|
0.095238
|
||
Rata-rata
|
3,3
|
2,2
|
0,7
|
0.292857
|
|||
High III
|
1
|
Betina
|
1
|
1,4
|
1,4
|
0.228571
|
|
2
|
Betina
|
2,2
|
1,2
|
3
|
0.304762
|
||
3
|
Betina
|
-10,8
|
-0,2
|
6
|
-0.2381
|
||
4
|
Betina
|
11,2
|
3,6
|
0,5
|
0.728571
|
||
Rata-rata
|
0,9
|
1,5
|
2,7
|
0.255952
|
|||
Low III
|
1
|
Jantan
|
-2,1
|
1,8
|
1
|
0.033333
|
|
2
|
Jantan
|
7,7
|
-0,9
|
1,8
|
0.409524
|
||
3
|
Jantan
|
4
|
0,2
|
1,4
|
0.266667
|
||
4
|
Betina
|
11,7
|
1,1
|
1,1
|
0.661905
|
||
5
|
Betina
|
3
|
2
|
2
|
0.333333
|
||
Rata-rata
|
4,9
|
0,8
|
1,5
|
0.340952
|
|||
Berdasarkan tabel 3 dan grafik 1 di atas menunjukkan hasil pengamatan rata-rata pertambahan berat badan dengan pemberian suplemen konsentrat yang berbeda yaitu high protein, medium protein, dan low protein Berdasarkan hasil pengamatan pertambahan berat badankambing PE yang diproyeksikan oleh grafik 1 maka dapat diketahui bahwa kambing PE yang diberikan ransum high protein memiliki pengaruh positif terhadap tingkat pertambahan berat badan ternak. Hal ini terlihat dari grafik pertambahan berat badan yang terus naik ditiap pekannya. Sementara pada ransum lainnya (low protein dan medium protein) memiliki efek negatif terhadap pertambahan berat badan kambing PE yang ditunjukkan dengan turunnya berat badan ternak.
Perbedaan pertambahan berat badan
dapat terjadi karena tingkat kecernaan bahan pakan yang diberikan. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ali (1999) yang
menunjukkan bahwa pertambahan berat badan disebabkan adanya perbedaan
kandungan dan kecernaan bahan organik, terutama
nitrogen, dalam
pakan. Akibatnya
nutrien yang dikonsumsi berbeda sehingga kecepatan pertumbuhan, yang diindikasikan melalui
pertambahan berat badan, pun
berbeda. Soeharsono
et al., (2005) juga
menyatakan bahwa ketersediaan dan efisiensi penggunaan nitrogen suatu
ransum oleh ternak dapat diketahui dari selisih
antara jumlah nitrogen yang dikonsumsi dan yang dikeluarkan oleh tubuh
baik melalui feses maupun urine. Protein kasar tersusun dari unsur nitrogen
maka peningkatan konsumsi protein kasar dapat diartikan sebagai peningkatan
konsumsi nitrogen sehingga semakin meningkat pula retensi nitrogen. Ternak
mempunyai kapasitas maksimal untuk menyimpan protein tubuhnya tergantung pada umur
bobot hidup dan kondisi fisiologis, disamping keseimbangan suplai energi dan
protein.
Tabel 4. Pertambahan berat badan kambing
Etawa/Minggu (Kg) dengan tingkat
suplemen medium protein di tempat yang berbeda
No.
Identifikasi
|
Jenis Kelamin
|
Pertambahan Berat
Badan
|
ADG
(kg)
|
|||
I
|
II
|
III
|
||||
Medium I
|
1
|
Betina
|
5,5
|
-1,5
|
0
|
0.285714
|
2
|
Betina
|
2,5
|
-1,5
|
-0,5
|
0.02381
|
|
3
|
Jantan
|
0,8
|
1
|
-0,8
|
0.047619
|
|
4
|
Betina
|
1,8
|
0,8
|
-1,8
|
0.038095
|
|
Rata-rata
|
2,65
|
-0,3
|
-0,78
|
0.09881
|
||
Medium II
|
1
|
Betina
|
0
|
0
|
3,5
|
0.166667
|
2
|
Betina
|
3,6
|
-1,2
|
1,2
|
0.171429
|
|
3
|
Betina
|
-0,5
|
0,5
|
6
|
0.285714
|
|
4
|
Betina
|
0
|
-0,6
|
1,6
|
0.047619
|
|
Rata-rata
|
0,775
|
-0,34
|
3,08
|
0.167857
|
||
Medium III
|
1
|
Betina
|
3,5
|
3
|
1,5
|
0.380952
|
2
|
Betina
|
4,1
|
1,5
|
-1
|
0.219048
|
|
3
|
Betina
|
3,5
|
2,5
|
4
|
0.47619
|
|
4
|
Betina
|
2
|
1,8
|
-1,8
|
0.095238
|
|
Rata-rata
|
3,275
|
2,2
|
0,68
|
0.292857
|
Tabel 4 dan grafik 2
di atas
menunjukkan hasil pengamatan berat badan kambing PE selama tiga minggu di tiga tempat
yang berbeda dengan pemberian suplemen konsentrat
yang sama, yaitu medium protein. Berdasarkan hasil
tersebut dapat diketahui bahwa kambing PE mengalami penurunan pertambahan berat badan (gain) di Turgo dan Tritis bahkan mengalami penurunan berat badan. Sementara pertambahan berat badan
kambing PE di daerah Tegal mengalami peningkatan di minggu terakhir, meskipun
berkurang di minggu pertama pemberiannya. Penurunan berat badan bisa terjadi
karena turunnya tingkat konsumsi ternak akibat penyesuaian terhadap pakan yang
baru di berikan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Zakariah (2012)
bahwa perlu adanya waktu adaptasi ternak terhadap pakan sebelum dilakukan
penelitian, karena perubahan pakan secara langsung dapat memengaruhi konsumsi
ternak. Kartadisastra (1997) menambahkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi PBBH
(peningkatan bobot badan harian) adalah bobot badan ternak dan lama pemeliharaan.
Bobot badan ternak senantiasa berbanding lurus dengan tingkat konsumsinya.
Semakin tinggi bobot tubuhnya, maka makin tinggi pula tingkat konsumsi terhadap
pakan.
Rata-rata pertambahan berat badan harian
kambing PE yang paling baik adalah pada tempat ke tiga (Tritis), yaitu 292 gram.
Sementara pada Turgo dan Tegal berturut-turut 98 gram dan 167 gram. Rata-rata
pertambahan berat badan harian (ADG) yang tinggi belum tentu akan berimbas pada
produktivitas berat badan yang baik jika ditiap minggunya mengalami penurunan.
ADG yang tinggi akan baik dalam pertambahan berat badan ternak jika grafik di
tiap minggunya terus naik. Faktor
penentu dalam mencapai produksi pertambahan
berat badan yang optimal adalah bobot badan lahir dan pertambahan
bobot badan harian. Penampilan dan produksi ternak berupa laju pertumbuhan dan
pertambahan bobot badan harian merupakan hasil nyata dari pengaruh genetik
lingkungan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa faktor genetik diperlukan untuk
mengekspresikan kemampuannya secara penuh dalam produksi sedangkan lingkungan
merupakan faktor pendukung yang memberi kesempatan untuk berproduksi (Briliyan,
2009). Sehingga dapat
diketahui bahwa banyak hal yang dapat memengaruhi produktivitas kambing PE,
terutama pertumbuhan berat badan, yaitu kemampuan ternak untuk tumbuh dan juga
lingkungan ternak. Tegal merupakan tempat yang paling sesuai untuk
produktivitas ternak jika dibandingkan dengan Turgo dan Tritis terlihat dari
pertambahan berat badan yang baik.
Feed Convertion Ratio (FCR)
Berdasarkan
praktikum yang telah dilakukan, diperoleh data FCR untuk kelompok medium protein
pada tabel 5 berikut.
Tabel 5. Data FCR kambing setiap minggu
dengan suplemen protein
tingkat medium
Minggu ke-
|
FCR
|
|||
Kambing 1
|
Kambing 2
|
Kambing 3
|
Kambing 4
|
|
I
|
0,24
|
0,30
|
0,20
|
0,38
|
II
|
0,23
|
0,27
|
0,19
|
0,36
|
III
|
0,22
|
0,27
|
0,19
|
0,34
|
IV
|
0,21
|
0,27
|
0,18
|
0,36
|
Berdasarkan
tabel 4 dapat diketahui bahwa FCR kambing 1 pada minggu pertama 0,24, minggu
kedua adalah 0,23, minggu ketiga adalah 0,22 dan minggu keempat 0,21. FCR
kambing 2 pada minggu pertama 0,30 dan minggu kedua sampai minggu keempat
adalah 0,27. FCR kambing 3 pada minggu pertama adalah 0,20, pada minggu kedua
dan ketiga adalah 0,19, sedangkan pada minggu keempat 0,18. FCR kambing 4 pada
minggu pertama adalah 0,38, pada minggu kedua adalah 0,36, pada minggu ketiga
adalah 0,34, dan pada minggu keempat adalah 0,36.
Data FCR
untuk kelompok ransum low protein
dapat dilihat pada tabel 5 berikut.
Tabel 5.
Data FCR kambing setiap minggu dengan suplemen low protein
Minggu ke-
|
FCR
|
||||
Kambing 1
|
Kambing 2
|
Kambing 3
|
Kambing 4
|
Kambing
5
|
|
I
|
0,52
|
0,48
|
0,39
|
0,52
|
0,26
|
II
|
0,56
|
0,38
|
0,36
|
0,37
|
0,25
|
III
|
0,52
|
0,39
|
0,36
|
0,36
|
0,24
|
IV
|
0,50
|
0,37
|
0,37
|
0,35
|
0,23
|
Diketahui
dari tabel 5 bahwa kelompok ransum low
protein untuk kambing 1 pada minggu pertama memiliki FCR sebesar 0,52, pada
minggu kedua sebesar 0,56, pada minggu ketiga 0,52 dan keempat sebesar 0,50.
FCR kambing 2 pada minggu pertama sebesar 0,48, pada minggu kedua 0,38, ketiga
sebesar 0,39, dan pada minggu keempat sebesar 0,37. FCR kambing 3 pada minggu
pertama sebesar 0,39, pada minggu kedua dan ketiga sebesar 0,36, dan pada
minggu keempat sebesar 0,37. FCR kambing 4 pada minggu pertama sebesar 0,52, pada
minggu kedua sebesar 0,37, pada minggu ketiga sebesar 0,36, dan pada minggu
keempat sebesar 0,35. FCR kambing 5 pada minggu pertama sebesar 0,26, minggu
kedua 0,25, minggu ketiga 0,24 dan minggu keempat 0,23. Perolehan FCR kelompok high protein jika digambarkan dalam bentuk grafik dapat dilihat pada grafik 5 berikut.
Data FCR
untuk kelompok ransum high protein dapat
dilihat pada tabel 6 berikut.
Tabel 6.
Data FCR kambing setiap minggu dengan suplemen
high protein
Minggu ke-
|
FCR
|
|||
Kambing 1
|
Kambing 2
|
Kambing 3
|
Kambing 4
|
|
I
|
0,41
|
0,35
|
0,31
|
0,40
|
II
|
0,39
|
0,33
|
0,39
|
0,31
|
III
|
0,38
|
0,32
|
0,39
|
0,29
|
IV
|
0,36
|
0,30
|
0,34
|
0,29
|
Diketahui
dari tabel 6 bahwa kelompok ransum high
protein untuk kambing 1 pada minggu pertama memiliki FCR sebesar 0,41, pada
minggu kedua sebesar 0,39, pada minggu ketiga sebesar 0,38, dan keempat sebesar
0,36. FCR kambing 2 pada minggu pertama sebesar 0,35, pada minggu kedua 0,33,
minggu ketiga 0,32, minggu keempat sebesar 0,30. FCR kambing 3 pada minggu
pertama sebesar 0,31, pada minggu kedua dan ketiga 0,39, minggu keempat sebesar 0,34. FCR
kambing 4 pada minggu pertama sebesar 0,40, pada minggu kedua 0,31, minggu
ketiga dan minggu keempat sebesar 0,29.
Dilihat
dari data ketiga kelompok yang terdiri dari kelompok ransum low, medium, dan high diketahui bahwa FCR kambing setiap minggunya sama, bahkan ada
yang semakin menurun. FCR kambing kelompok medium
dan low pada minggu kedua menurun.
FCR kambing kelompok low pada minggu
kedua sampai minggu keempat menurun. Penurunan FCR kambing dari ketiga kelompok
tersebut dipengaruhi oleh pakan, lingkungan, dan konsumsi pakan. Reksohadiprojo
(1995) menyatakan bahwa FCR dipengaruhi oleh kualitas ternak yang dipelihara
(termasuk daya adaptasinya terhadap pakan yang diberikan), kualitas bahan pakan
yang diberikan, dan metode pemberian pakan yang digunakan.
Menurut
Sukarini (1999), konversi ransum merupakan
perbandingan antara konsumsi ransum dengan produksi susu. FCR merupakan tolok
ukur untuk menilai tingkat efisiensi penggunaan ransum pada proses produksi
susu, yang mana semakin rendah nilai FCR, maka semakin tinggi efisiensi
penggunaan ransum pada proses produksi susu dan demikian pula sebaliknya. Supranianondo (2007) menyatakan bahwa angka konversi
pakan tergantung dari kualitas pakan yang diberikan, semakin baik nilai
kecernaannya, akan semakin baik konversi pakan yang dihasilkan. Sehingga makin
kecil angka konversi pakan makin menguntungkan karena makin sedikit pakan
yangyang dikonsumsi untuk mencapai produk daging yang optimal dalam kurun waktu
tertentu.
Pertumbuhan kambing dipengaruhi oleh pakan, kemampuan mengkonsumsi pakan, kondisi lingkungan dan kemampuan reproduksi. Pakan yang digunakan dalam praktikum adalah konsentrat yang terdiri dari kulit coklat, bungkil kedelai, CGM, kopra, bekatul, pollard, premix, gaplek, dan molases. Pertumbuhan kambing menentukan keberhasilan pemeliharaan kambing, semakin cepat pertumbuhan semakin baik untuk pemeliharaan. Perbedaan yang terjadi dapat juga diduga disebabkan oleh pemberian hijauan berupa daun lamtoro, daun turi, dan daun nangka yang mana tidak ditemukan data pemberian hijauan dalam praktikum ini. Hijauan tersebut digunakan sebagai pakan basal dan diduga memberikan pengaruh terhadap performa kambing. Faktor-faktor yang mempengaruhi FCR antara lain adalah pakan, jenis kelamin, umur, dan masa laktasi. FCR juga dipengaruhi oleh kualitas ternak yang dipelihara (termasuk daya adaptasinya terhadap pakan yang diberikan), kualitas bahan pakan yang diberikan, dan metode pemberian pakan yang digunakan (Reksohadiprojo, 1995). Konversi ransum khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan, dan nilai kecernaan (Martawidjaya et al., 1996).
Pertumbuhan kambing dipengaruhi oleh pakan, kemampuan mengkonsumsi pakan, kondisi lingkungan dan kemampuan reproduksi. Pakan yang digunakan dalam praktikum adalah konsentrat yang terdiri dari kulit coklat, bungkil kedelai, CGM, kopra, bekatul, pollard, premix, gaplek, dan molases. Pertumbuhan kambing menentukan keberhasilan pemeliharaan kambing, semakin cepat pertumbuhan semakin baik untuk pemeliharaan. Perbedaan yang terjadi dapat juga diduga disebabkan oleh pemberian hijauan berupa daun lamtoro, daun turi, dan daun nangka yang mana tidak ditemukan data pemberian hijauan dalam praktikum ini. Hijauan tersebut digunakan sebagai pakan basal dan diduga memberikan pengaruh terhadap performa kambing. Faktor-faktor yang mempengaruhi FCR antara lain adalah pakan, jenis kelamin, umur, dan masa laktasi. FCR juga dipengaruhi oleh kualitas ternak yang dipelihara (termasuk daya adaptasinya terhadap pakan yang diberikan), kualitas bahan pakan yang diberikan, dan metode pemberian pakan yang digunakan (Reksohadiprojo, 1995). Konversi ransum khususnya pada ternak ruminansia dipengaruhi oleh kualitas pakan, pertambahan bobot badan, dan nilai kecernaan (Martawidjaya et al., 1996).
Data Vital
Pengamatan
praktikum selama 4 pekan menunjukkan adanya peningkatan dan penurunan data vital dari masing-masing
kambing. Hal tersebut terdapat pada tabel berikut,
Tabel 7. Data vital
kambing suplemen medium protein shift I Desa Tegal
Medium I
|
Identifikasi
|
Panjang badan
|
Lingkar dada
|
Tinggi gumba
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
||
Betina
|
69,5
|
69,5
|
69,5
|
69,5
|
99
|
105
|
106
|
84
|
73
|
73
|
74
|
75
|
|
Betina
|
67
|
67
|
67
|
68
|
93
|
93
|
93
|
93
|
72
|
72
|
72
|
68
|
|
Jantan
|
54
|
60
|
61
|
62
|
82
|
91
|
93
|
93
|
75
|
75
|
76
|
76
|
|
Betina
|
59
|
60
|
60
|
61
|
82
|
93
|
93
|
93
|
76
|
76
|
76
|
76,5
|
Tabel 8. Data vital kambing suplemen medium protein shift II Desa Tritis
Medium II
|
Identifikasi
|
Panjang badan
|
Lingkar dada
|
Tinggi gumba
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
||
Betina
|
72
|
72
|
73
|
74
|
88
|
88
|
88
|
89
|
77
|
73
|
75
|
75
|
|
Betina
|
66
|
67
|
72
|
79
|
88
|
92
|
92
|
92
|
71
|
74
|
74
|
74
|
|
Betina
|
61
|
68
|
70
|
71
|
76
|
78
|
78
|
78
|
75
|
75
|
75
|
75
|
|
Jantan
|
62
|
77
|
77
|
79
|
87
|
87
|
88
|
89
|
77
|
80
|
75
|
84
|
Grafik 9. Data panjang badan kambing suplemen medium protein II Desa Tritis
Tabel 9. Data vital
kambing suplemen medium protein shift III Desa Turgo
Medium III
|
Identifikasi
|
Panjang badan
|
Lingkar dada
|
Tinggi gumba
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
||
Betina
|
72
|
72
|
73
|
73
|
85
|
85
|
85
|
86
|
74
|
74
|
74
|
74
|
|
Betina
|
70
|
70
|
70
|
70
|
82
|
84
|
86
|
87
|
73
|
74
|
75
|
75
|
|
Betina
|
69
|
70
|
71
|
74
|
95
|
96
|
96
|
97
|
79
|
80
|
81
|
81
|
|
Betina
|
60
|
61
|
61
|
61
|
82
|
83
|
84
|
82
|
62
|
62
|
63
|
63
|
Grafik 12. Data panjang badan kambing suplemen medium protein III Desa Turgo
Tabel 10. Data
vital kambing dengan
suplemen low protein shift III Desa Turgo
Low III
|
Identifikasi
|
Panjang badan
|
Lingkar dada
|
Tinggi gumba
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
||
Jantan
|
50
|
49
|
49
|
49
|
68
|
70
|
73
|
74
|
66
|
63
|
74
|
74
|
|
Jantan
|
51
|
55,5
|
58
|
59
|
78
|
77
|
78
|
79
|
68
|
70
|
73
|
80
|
|
Jantan
|
61
|
65
|
66
|
68
|
80
|
80
|
81
|
81
|
71
|
75
|
75
|
76
|
|
Betina
|
70
|
70
|
70
|
70
|
98
|
94
|
94
|
94
|
72
|
73
|
73
|
73
|
|
Betina
|
64
|
64
|
65
|
69
|
81
|
80
|
81
|
82
|
74
|
74
|
74
|
74
|
Grafik 15. Data panjang badan kambing suplemen low protein III Desa Turgo
Tabel 11. Data
vital kambing suplemen high
protein shift III Desa Turgo
High III
|
Identifikasi
|
Panjang badan
|
Lingkar dada
|
Tinggi gumba
|
|||||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
I
|
II
|
III
|
IV
|
||
Betina
|
69
|
69
|
75
|
70
|
72
|
72
|
80
|
79
|
74
|
75
|
80
|
75
|
|
Betina
|
67
|
71
|
80
|
79
|
74
|
83
|
86
|
82,5
|
82
|
79
|
75
|
72
|
|
Betina
|
72
|
68
|
72
|
76
|
72
|
76
|
80
|
81
|
73
|
73
|
73
|
73
|
|
Betina
|
82
|
82
|
80
|
81
|
80
|
83
|
86
|
87
|
75
|
76
|
77
|
78
|
Grafik 18. Data panjang badan kambing suplemen high protein III Desa
Turgo
Berdasarkan data vital kambing PE dari ketiga kelompok ransum medium protein di tempat yang berbeda menunjukkan
peningkatan, sedangkan pada ransum yang berbeda di tempat yang sama menunjukkan
adanya penurunan pada penggunaan ransum Low
di Desa Turgo terhadap lingkar dada ternak. Hal ini diduga karena pemberian
protein yang rendah pada pakan ternak.
Menurut Blakely dan Bade (1991), pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan penampilan luar ternak. Kondisi pakan yang baik yaitu pakan yang cukup mengandung nutrien yang dibutuhkan ternak yang meliputi air, protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Serta ditunjang dengan tingkat pemanfaatan bahan yang cukup tinggi oleh ternak yang bersangkutan dan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak dan peningkatan berat badan ternak, sedangkan menurut Chamdi (2005) lingkar dada dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur ternak, kondisi lingkungan hidupnya seperti letak ketinggian dari permukaan laut maupun pakan yang ada. Hartaja et, al (2013) menambahkan bahwa imbangan nitrogen dapat dipakai untuk menentukan kebutuhan protein guna keperluan pertumbuhan, dimana takaran minimal protein yang memberi retensi maksimal untuk pertumbuhan ternak dalam prinsip. imbangan nitrogen adalah kebutuhan protein bagi ternak yang bersangkutan.
Menurut Blakely dan Bade (1991), pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan dan penampilan luar ternak. Kondisi pakan yang baik yaitu pakan yang cukup mengandung nutrien yang dibutuhkan ternak yang meliputi air, protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Serta ditunjang dengan tingkat pemanfaatan bahan yang cukup tinggi oleh ternak yang bersangkutan dan dapat meningkatkan pertumbuhan ternak dan peningkatan berat badan ternak, sedangkan menurut Chamdi (2005) lingkar dada dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur ternak, kondisi lingkungan hidupnya seperti letak ketinggian dari permukaan laut maupun pakan yang ada. Hartaja et, al (2013) menambahkan bahwa imbangan nitrogen dapat dipakai untuk menentukan kebutuhan protein guna keperluan pertumbuhan, dimana takaran minimal protein yang memberi retensi maksimal untuk pertumbuhan ternak dalam prinsip. imbangan nitrogen adalah kebutuhan protein bagi ternak yang bersangkutan.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang
dilakukan dapat disimpulkan bahwa pengaruh pemberian supplemen sumber protein pada
perlakuan low protein dapat meningkatkan PBBH (peningkatan berat badan
harian), menurunkan FCR, dan meningkatkan data vital kambing PE. Pemberian
suplemen sumber protein perlakuan medium
protein dapat meningkatkan PBBH, menurunkan FCR, dan meningkatkan data vital kambing PE. Pengaruh pemberian suplemen
sumber protein pada perlakuan high
protein dapat meningkatkan PBBH, menurunkan FCR, dan meningkatkan ukuran
data vital kambing PE. Perbedaan lokasi pada pemeliharaan, kambing PE dengan
perlakuan pemberian suplemen sumber protein tingkat medium, menunjukkan bahwa lokasi pemeliharaan III (Desa Turgo)
memiliki ADG tertinggi pada kambing PE.
SARAN
Saran untuk praktikum
selanjutnya adalah saat pengambilan data, diusahakan semua data yang dibutuhkan
dan sekiranya mempengaruhi hasil praktikum dilengkapi sebaik mungkin, agar
dapat mendukung variabel yang akan dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Adriani, I-K., Sutama A., Sudono T., Sutardi dan W.
Manalu. 2003. Pengaruh Superovulasi Sebelum Perkawinan dan Suplementasi Seng
Terhadap Produksi Susu Kambing Peranakan Etawah. Jurnal Produksi Ternak, Fak.
Peternakan Univ. Jenderal Soedirman. 6: 86-94.
Admin,
K. 2009. Ternak Potong di Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta
Agus, A. 2008. Panduan Bahan PakanTernak Ruminansia. Ardana Media. Yogyakarta.
Ali, Usman. 1999. Pengaruh Penggunaan
Onggok dan Isi Rumen Sapi Dalam Pakan Komplit Terhadap Penampilan Kambing
Peranakan Etawah. Universitas Islam Malang. Malang
Amirroenas D.E. 1990. Mutu Ransum Berbentuk Pellet dengan Bahan
Serat Biomasa Pod Coklat (Theobromacacao L.) untuk Pertumbuhan Sapi
Perah Jantan. Tesis. (Tidak dipublikasikan). Fakultas Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makan Ternak Umum. Gramedia
Pustaka Umum. Jakarta.
Astutik, S.I., M. Arifin, dan W.S. Dil'aga. 2002. Respon
produksi sapi Peranakan Ongoie berbasis pakan jerami padi terhadap formula urea
molasses block.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Petemakan dan Veteriner. Pusat.
Briliyan.
2009. Laporan Praktek Kerja Lapangan, “Kajian
Kualitas Ransum Kambing Peranakan Ettawa di Balai Pembibitan dan Budidaya
Ternak Ruminansia Kendal”. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas
Peternakan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Budiartama, IGM., dan I-Ketut Sutama.
2003. Karakteristik Produktivitas Kambing Peranakan Etawah. Lokakarya
Nasional Pengelolaan dan Perlindungan Sumber Daya Genetik di Indonesia: Manfaat
Ekonomi untuk Mewujudkan Ketahanan Nasional. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
Chamdi, Achmad Nur. 2005.
Karakteristik Sumberdaya Genetik Ternak Sapi Bali (Bos-bibos banteng)
dan Alternatif Pola Konservasinya. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Biodiversitas Vol.6 No.1 Hal.70-75 Januari 2005
Chuzaemi,
S. dan Hartutik, 1995. Ilmu Makanan Ternak Khusus (Ruminansia). NUFFIC LUW Unibraw. Malang.
Derrick. 2005. Protein in Calf Feed. http: //www.winslowfeeds.co.nz/pdfs/feedingcalvesarticle.pdf.
(2 Februari 2005).
Dhalika, T., Endang Y.S.,
Siti N., dan Yuli A.H. 2010. Nilai Nutrisi Ransum Lengkap Mengandung Berbagai
Taraf Hay Pucuk Tebu (Saccarum oficinarum) Pada Domba Jantan Yang
Digemukkan. Jurnal Ilmu Ternak Juni 2010 Vol.10 No.2 79-84. Fakultas Peternakan Universitas
Padjajaran. Bandung.
Esminger, M.E. 1992. The Stockman Handbooks (Animal Agriculture Series). Seventh Edition. Interstate Publisher
Inc. Danville. Illionois.
Fadilah, S. D., E. K. Artati, dan A.
Jumari. 2008. Biodelignifikasi Batang Jagung Dengan Jamur Pelapuk Putih Phanerochaete
Chrysosporium. Ekuilibrium Vol.
7 No. 1.
Forbes and
Shariatmadari, J.M. and F. Shariatmadari. 1994. Diet Selection By Poultry. World’s
Poult. Sci. J.
Guntoro,
S., Sriyanto, N. Suyasa dan M. Rai Yasa. 2006. Pengaruh Pemberian Limbah Kakao Olahan terhadap Pertumbuhan Sapi Bali
(Feeding of Processed Cacaoby-Product to Growing Bali Cattle).
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali, Ngurahrai. Denpasar.
Harimurti, Niken. 2010. Potensi Limbah Kulit Buah
Kakao (Theobroma Cacao L.) Sebagai Bahan Baku Bioetanol Generasi II.Balai Besar
Litbang Pascapanen Pertanian. Bogor.
Hartaja, K.A.P., T.H. Suprayogi, dan Sudjatmogo. 2013.
Tampilan Pertambahan Bobot Badan Harian dan Kadar Urea Darah pada Kambing Perah
Dara Peranakan Ettawa Akibat Pemberian Ransum dengan Suplementasi Urea yang
Berbeda. Universitas Diponegoro. Semarang. Animal Agricultural journal, Vol.2
No.1, p 458-465
Hadjosubroto, W. 1994.
Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana. Jakarta.
Hartadi, H., S.Reksohadiprojo, AD.Tillman. 1997. Komposisi Pakan untuk
Indonesia. Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Kamal, M.
1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Laboratorium Ternak. Fakultas Peternakan.
Univesitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kartadisastra,
H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Kanisius.
Yogyakarta.
Marliyati, S.,
A. Ahmad, S. Faisa, A. 1992. Pengolahan
Pangan Tingkat Rumah Tangga. IPB. Bogor.
Martawidjaya, M., S. S. Sitorus, B. Setiadi dan Isbandi.
1996. Studi Produktivitas dan Efisiensi Penggunaan Pakan pada Kambing Sapihan.
Balitnak. Puslitbangnak. Bogor.
Miskiyah, Ira Mulyawati dan Winda Haliza. 2006. Pemanfaatan Ampas Kelapa Limbah Pengolahan
Minyak Kelapa Murni Menjadi Pakan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Murni, R.,
Suparjo, Akmal, B.L. Ginting. 2008. Pemanfaatan Limbah Sebagai Bahan Pakan
Ternak. Laboratorium Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
Jambi.
Nasrullah
dan A. Ella, 1993. Limbah Pertanian
dan Prospeknya sebagai Sumber Pakan Ternak di Sulawesi Selatan. Makalah. (Tidak dipublikasikan). Ujung
Pandang.
NRC. 1981.
Nutrient Requirement of Goats. No. 15. National Academy Press. Washington, D.C.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak
Ruminansia. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Preston,
T.R. dan Leng, R.A.. 1987. Matching Ruminant Production System With Available
Resources In The Tropics And Subtropics. Penambul Book, Armidale-Australia.
Priyono. 2009. Premix. Available at: http://www.ilmupeternakan.com/2009/
03/premix.html. Diakses pada tanggal
28 Mei 2014 pukul 11.00WIB.
Raharjo, Y.C., T. Haryati, dan Donna
Gultom. 2000. Evaluasi
Nilai Nutrisi Pollard Gandum
Terfermentasi dengan Aspergillus Niger Nrrl 337 Pada Itik Alabio Dan Mojosari.
Seminar Nasional Peternakan dan Veleriner 2000. Bogor.
Reksohadiprojo, S. 1995. Pengantar Ilmu Peternakan Tropis. Badan Penerbitan Fakultas
Ekonomi. Yogyakarta.
SNI. 1998. SNI-01-4484-1998. Badan Standardisasi
Nasional. Indonesia.
Soeharsono, Supriadi, dan Winarti Erna. 2005. Pengaruh
Pemberian Tepung Gaplek-Urea yng Dikukus Terhadap Konsumsi dan Kecernaan
Protein Serta Neraca Nitrogen pada Domba. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Yogyakarta
Soeparno. 1992. Ilmu
dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.
Soepranianondo, Koesnoto., Nazar Dady Sugianto, dan
Handiyatno Didik. 2007. Potensi Jerami Padi yang Diamoniasi dan Difrmentasi
Menggunakan Bakteri Selulolitik terhadap Konsumsi Bahan Kering, Kenaikan Berat
Badan dan Konversi Pakan Domba. Universitas Airlangga. Surabaya
Susanti,
Sri dan Eko Marhaeniyanto. 2007. Kecernaan,
Retensi Nitrogen dan Hubungannya dengan
Produksi Susu Pada Sapi Peranakan Friesian Holstein (PFH) yang diberi Pakan Pollard dan Bekatul. Jurnal Vol.15 No.2 Tahun 2007. Fakultas
Peternakan Universitas Tribhuwana Tunggadewi.
Sukarini,
I. A. M. 2006. Produksi dan Komposisi Air Susu Kambing Peranakan Etawah yang
Diberi Tambahan Konsentrat Pada Awal Laktasi. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. Universitas Udayana. Denpasar.
Sutama, I-K., Igm. Budiarsana, H. Setianto and A.
Priyanti. 1995. Productive and Reproductive
Performances of Young Peranakan
Etawah Does. Jiltv 1(2):
81-85.
Suwarno, R., 1998. Mempraktekkan Pelajaran Pertumbuhan
dan Hewan Relasi Antara Lingkar Dada, Panjang Badan dan Bohot Badan. Hemera
Zoa.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.
Prawirokusumo Dan S. Lebdosukojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Cetakan
Ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Utomo, R., S. Proyono, A. Agus,
dan C.T Noviandi. 2008. Buku Ajar Bahan
Pakan dan Formulasi Ransum PTN 2401. Laboratorium TMT Fakultas Peternakan
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Weston, R.
H. 1982. Principles of Feed Intake Control in Ruminant Given Roghages. In: PT.
Doyle (Eds). Utilization of Fibrous Agricultural Residues as Animal Feeds.
Proc.of The 3 rd. Annual Residues Research Network. New York. Pp : 14-27.
Yuwanta, T. 2004. Dasar-dasar Ternak Unggas.Kanisius.
Yogyakarta.
Zuprizal dan M.
Kamal. 2005. Nutrisi dan Pakan Unggas. Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rekomendasi Sewa Mobil di jogja.